Fusilatnews – Bila sejak awal Presiden Jokowi bersikap terbuka, mungkin kita tidak sedang menyaksikan drama hukum yang makin pelik. Tidak akan ada headline berteriak tentang dugaan pemalsuan, tidak akan ada Bambang Tri dan Gus Nur yang merasakan dinginnya sel, apalagi delapan nama baru yang kini ditetapkan sebagai tersangka—semua hanyalah konsekuensi dari satu kegagalan sederhana: tidak mau memperlihatkan ijazah.
Kita hidup di negeri yang katanya demokratis, tapi kejujuran dasar seorang pemimpin bisa menjadi pemicu kriminalisasi. Publik menuntut jawaban yang sederhana, tapi yang terjadi justru paradoks: mereka yang mempertanyakan, yang menagih transparansi, malah menjadi korban. Ironi ini nyata dan pahit; keabsahan pendidikan seorang presiden lebih mudah mengaburkan hukum daripada menegakkan keadilan.
Delapan tersangka baru bukanlah masalah utama. Mereka hanyalah pion-pion dalam panggung absurd yang diciptakan oleh ketertutupan. Bukankah lebih masuk akal jika satu sikap sederhana—memperlihatkan ijazah sejak awal—bisa mencegah semua ini? Tetapi, ketertutupan itu dipilih. Dan publik, sekali lagi, menjadi saksi dari sebuah ironi: kebenaran diadili, sementara kerahasiaan bebas berkeliaran.
Negara ini, pada akhirnya, membayar mahal untuk satu hal yang seharusnya sederhana: kejujuran. Tersangka baru, pusaran opini, gosip politik—semua itu bisa dicegah dengan satu tindakan transparan. Tapi yang terjadi adalah sebaliknya. Dan kita, rakyat, masih menunggu jawaban yang sederhana: “Mengapa tidak sejak awal diperlihatkan?”
Di negeri ini, keterbukaan bukan sekadar pilihan moral. Ia adalah obat mujarab yang mampu mencegah absurditas hukum, melindungi warga negara, dan menjaga martabat seorang presiden. Tanpa itu, drama kriminalisasi akan terus berlangsung—lebih banyak tersangka, lebih banyak hingar-bingar, dan lebih banyak rasa percaya yang hilang.
Bila sejak awal bersikap jujur, mungkin semua ini tidak akan terjadi. Semua orang tetap bebas, hukum tetap tegak, dan publik tetap percaya. Namun, pilihan itu tidak diambil. Sehingga kita hanya bisa menonton, sambil bertanya: siapa lagi yang akan menjadi korban berikutnya?






















