Damai Hari Lubis
Pengamat KUHP (Kebijakan Umum Hukum dan Politik)
Keterlibatan LBH Muhammadiyah (LBHM) dalam merespons isu dugaan ijazah palsu yang diarahkan kepada tokoh sekelas Joko Widodo adalah hal yang wajar dalam negara demokrasi. Dugaan perkara hukum yang menyangkut tokoh negara, terlebih mantan presiden yang masih berposisi sebagai pejabat publik, memang membuka ruang partisipasi dan kontrol publik—baik secara individual maupun kolektif.
Namun yang tampak di permukaan, insiatif LBHM belum memenuhi teori ketaktisan dalam tindakan hukum. Permasalahan utamanya bukan pada keikutsertaan, melainkan pada cara:
Langkah yang diambil dinilai tidak spesifik, padahal terdapat banyak opsi tindakan hukum lain yang bisa dipilih.
Belum terlihat perumusan taktik jangka pendek yang konkret, sebagai perencanaan tindakan cepat dan terarah.
Belum mencerminkan strategi jangka panjang, yang seharusnya disiapkan untuk mengukur dampak sosial-politik dan implikasinya terhadap penegakan hukum di masa mendatang.
Fokus LBHM yang oleh publik terlihat berhenti pada objektif yang lebih sempit, berpotensi—tanpa disadari—memunculkan dampak turunan yang justru merugikan: korban Tersangka (TSK) yang saat ini dalam posisi cooling down bisa kembali terseret dalam arus atensi opini publik yang berlebih (over-coverage), lalu ironisnya menjadi umpan pengalih isu oleh aktor-aktor yang pada tafsir publik sering disebut “pion intel hitam.”
Dukungan moral kepada aktivis seperti Roy dan Rismon, betapapun baik niatnya, akan menjadi kontradiktif secara taktis jika pada praktiknya justru:
“membesarkan narasi yang akhirnya menambah risiko kriminilisasi kader itu sendiri.”
Publik—terutama masyarakat hukum yang berempati terhadap semua TSK—layak mempertanyakan:
“LBHM cawe-cawe untuk strategi hukum apa? Menunggu proses berubah menjadi Terdakwa (TDW), atau mencegah sejak dini agar risiko tidak melebar?”
Sebab, kondisi terkini menunjukkan bahwa salah seorang aktivis dikabarkan sudah berkomitmen untuk cooling down sejak Ahad petang lalu. Artinya, pra-kondisi hukum masih kondusif, belum masuk ruang taktis darurat. Namun pertanyaannya: jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan, apakah LBHM siap mengeksekusi langkah lanjutan, atau pada akhirnya hanya menyisakan empati verbal tanpa penyelesaian?
Penulis ingin menegaskan:
Advokasi hukum adalah perbuatan terhormat, termasuk yang dilakukan LBH.
Namun advokasi tanpa ketaktisan dan tanpa penyelesaian, bisa berubah menjadi bumerang, khususnya pada situasi penegakan hukum kontemporer yang masih sering dinilai tidak sepenuhnya objektif, cenderung subjektif, dan rentan sungsang implementasi.
Maka jika LBHM—atau siapapun pihak—benar-benar ingin berada dalam pentas perjuangan hukum dan moral, yang publik harapkan bukan sekadar ikut menyuarakan efek, melainkan ikut mengerjakan sebab di hulu isu:
Mengajukan gugatan, membuat pelaporan, dan menjalankan tindakan hukum langsung untuk kepentingan yang lebih besar dan jangka panjang—bukan sekadar menunggu hasil perjuangan pihak lain.
Terlebih, Muhammadiyah secara publik diketahui sebagai organisasi besar dan mapan dengan basis simpatisan luas, termasuk kedekatan historis dan empiris dengan dua partai pemilik kursi parlemen (PAN dan Partai Umat). Dengan modal sosial sebesar itu, partisipasi moral idealnya naik kelas menjadi partisipasi aksi nyata, bukan berhenti pada meja advokasi.
Karena demokrasi tidak membutuhkan figur yang sibuk di panggung opini, melainkan barisan yang hadir di medan argumentasi hukum.
Isu besar kebangsaan yang saat ini juga menyedot keprihatinan publik—mulai dari polemik kebijakan konstitusional, temuan OCCRP, hingga Morowali—juga memerlukan dukungan moral dan langkah hukum sejenis secara proporsional. Jangan sampai satu isu menenggelamkan isu lain yang tak kalah seriusnya.
Akhirnya, penulis mengucapkan:
Bravo LBH Muhammadiyah. Semoga dukungan moralnya tidak berhenti di separuh jalan—dan semoga cawe-cawenya tidak bertransformasi menjadi penambah risiko bagi para TSK.
Sebab, aksi yang nanggung lebih berbahaya dari aksi yang salah arah—karena ia melelahkan perhatian, tanpa menuntaskan keadaan.

Damai Hari Lubis























