Fusilatnews – Sejarah republik ini mencatat bahwa jabatan wakil presiden bukan sekadar pendamping kepala negara. Ia adalah simbol keseimbangan, penopang moral, bahkan kadang penyelamat bangsa. Namun, dari Mohammad Hatta hingga Gibran Rakabuming Raka, kita bisa membaca grafik yang menurun tajam—dari kualitas negarawan sejati menuju figur yang hadir lebih karena kalkulasi politik, bahkan faktor biologis.
Bung Hatta: Negarawan Sejati
Mohammad Hatta adalah arsitek bangsa, pemikir ekonomi kerakyatan, dan intelektual kelas dunia. Ia menolak kekuasaan absolut, bahkan rela mundur ketika prinsipnya berbenturan dengan praktik kekuasaan. Bung Hatta menempatkan moralitas di atas jabatan—sesuatu yang makin jarang ditemui dalam politik kita hari ini.
Pasca-Hatta: Penyeimbang dan Loyalis
- Sri Sultan Hamengkubuwono IX membawa wibawa moral dan simbol kebudayaan, meski perannya di bawah bayang-bayang Soeharto.
- Adam Malik, diplomat ulung, menjadi Wapres dengan reputasi internasional yang kuat.
- Umar Wirahadikusumah dikenal bersih dan berintegritas, meski tak banyak bisa bergerak dalam dominasi Orde Baru.
- Sudharmono, birokrat disiplin, dilihat sebagai tangan kanan Soeharto, lebih teknokrat ketimbang negarawan.
- Try Sutrisno, mantan Panglima ABRI, mencerminkan dominasi militer di era Orde Baru. Ia dipilih bukan karena kapasitas kenegarawan, melainkan sebagai representasi politik tentara. Try lebih dikenal sebagai loyalis Soeharto ketimbang sosok dengan gagasan besar untuk bangsa.
Era Transisi dan Reformasi
- BJ Habibie, teknokrat dunia, sempat menjadi Wapres sebelum menggantikan Soeharto. Ia membawa semangat teknologi, meski masa jabatannya singkat.
- Megawati Soekarnoputri, naik menjadi Wapres sebagai hasil kompromi politik, sebelum akhirnya menjadi presiden. Kehadirannya lebih simbolik, namun tetap memiliki garis historis dengan Bung Karno.
- Hamzah Haz, representasi politik Islam, lebih mencerminkan kalkulasi politik daripada kapasitas.
- Jusuf Kalla (JK) adalah pengecualian: seorang Wapres yang benar-benar bekerja. Dengan pragmatisme dan energi, ia menjadi motor dalam penyelesaian konflik Aceh dan Poso, bahkan sering disebut “presiden kedua” dalam kabinet.
Figur Teknis dan Simbol Politik
- Boediono, ekonom tenang dan bersih, hadir sebagai teknokrat. Namun perannya relatif redup karena Presiden SBY begitu dominan.
- Jusuf Kalla (periode kedua) kembali ke kursi Wapres di era Jokowi, tetapi ruang geraknya sudah jauh lebih terbatas.
- Ma’ruf Amin, ulama sepuh, dipilih lebih karena stabilitas politik identitas pasca Pilpres 2019, bukan karena kapasitas manajerial. Perannya di pemerintahan hampir tak terdengar.
Gibran Rakabuming Raka: Titik Terendah
Kini Gibran, putra Presiden Jokowi, duduk sebagai Wapres termuda dalam sejarah Indonesia. Pengalamannya masih minim, hanya sebatas wali kota Solo dengan rekam jejak singkat. Kehadirannya bukan cerminan prestasi, melainkan simbol paling gamblang dari menguatnya politik dinasti. Jika Bung Hatta mewakili intelektualitas dan integritas, maka Gibran hadir sebagai produk dari rekayasa kekuasaan.
Garis Menurun
Jika ditarik garis, kita menyaksikan grafik kualitas yang menukik tajam:
- Dari Bung Hatta sebagai negarawan dunia,
- ke Adam Malik, Sultan HB IX, Habibie, dan JK yang berkelas internasional,
- lalu ke Sudharmono dan Try Sutrisno yang lebih sebagai perpanjangan kekuasaan,
- hingga ke Ma’ruf Amin dan Gibran, yang menandai reduksi jabatan ini menjadi sekadar simbol politik dan dinasti.
Perjalanan ini menjadi potret getir bahwa institusi Wapres yang seharusnya menjadi penopang bangsa, justru makin kehilangan wibawanya. Republik ini seolah bergerak mundur—dari didirikan oleh intelektual dan negarawan, menuju dikuasai kalkulasi pragmatisme dan keluarga.