Oleh M. Yamin Nasution – Pemerhati Hukum

Kebohongan adalah sesuatu yang dikutuk oleh semua orang. Ironisnya, mereka yang berbohong pun tetap menganggap kebohongan itu salah.
Orang berbohong demi kepentingan pribadi—agar tampak lebih baik, terhindar dari kesulitan, atau bahkan untuk menyelamatkan diri. Yang lebih menarik, sering kali kebohongan dibungkus dengan dalih kepentingan orang lain.
Dalam dunia hukum, profesi pengacara kerap diidentikkan dengan kebohongan. Tidak sedikit pengacara yang bukan hanya menipu lawan, tetapi juga memperdaya kliennya sendiri.
Skenario Manipulasi
Ketika seseorang menghadapi masalah hukum, ia datang kepada seorang pengacara dan menceritakan perkaranya. Dengan wajah meyakinkan, sang pengacara berkata, “Ah, ini perkara mudah. Kita bisa selesaikan secara kekeluargaan. Yang penting, bantu operasionalnya dulu.”
Setelah klien menandatangani surat kuasa dan memberikan uang muka, permainan sesungguhnya dimulai. Pengacara mulai menyusun narasi fiktif yang membuat klien merasa optimis dan tenang. Hari demi hari, cerita baru diciptakan, semakin besar dan semakin meyakinkan, hingga akhirnya klien terus-menerus diminta tambahan biaya.
Hingga suatu titik, klien pun sadar bahwa dirinya tidak hanya gagal menyelesaikan masalah hukum, tetapi justru terjebak dalam masalah baru—karena ia mempercayai seseorang yang bersembunyi di balik profesi pengacara.
Kebohongan yang Sistemik
Lebih dari itu, pengacara yang gemar berbohong tidak hanya menipu kliennya. Ia juga berbohong kepada rekan-rekannya, hakim, jaksa, bahkan diri sendiri. Kebohongan yang terus-menerus dilakukan bukan hanya merusak kepercayaan individu, tetapi juga menghancurkan sistem hukum itu sendiri.
Nietzsche pernah berkata:
“Not that you lie to me, but that I no longer believe you, has shaken me.”
(“Bukan karena kau berbohong padaku, tetapi karena aku tak lagi bisa mempercayaimu—itulah yang mengguncang jiwaku.”)
Kebohongan, seperti meminum air laut, tidak akan pernah memuaskan dahaga. Justru sebaliknya, semakin diminum, semakin memperburuk keadaan—menyebabkan dehidrasi, stres, halusinasi, bahkan kehancuran.
Pengacara: Bodoh atau Bandit?
Ekonom Italia, Prof. Carlo M. Cipolla, dalam The Basic Laws of Human Stupidity, mengutip pemikiran Nicholas Nassim Taleb:
- Orang bodoh lebih banyak daripada yang kita bayangkan.
- Kebodohan tidak mengenal batasan gelar akademik, jabatan, bahkan Nobel sekalipun.
Cipolla membedakan antara orang bodoh dan bandit. Orang bodoh merugikan banyak orang tanpa memperoleh keuntungan bagi dirinya sendiri. Sementara bandit menciptakan kekacauan demi kepentingan dirinya, keluarganya, atau kelompoknya.
Karena itu, berhati-hatilah terhadap pengacara yang bukan hanya bandit tetapi juga bodoh—sebab mereka tidak hanya menipu, tetapi juga merusak sistem hukum demi melanggengkan kepentingan pribadi.