OLEH : ENTANG SASTRAATMADJA
Dilema adalah suatu situasi di mana seseorang atau suatu kelompok dihadapkan pada dua atau lebih pilihan yang saling bertentangan, sehingga membuat mereka sulit untuk memutuskan apa yang harus dilakukan.
Dalam konteks yang lebih luas, dilema dapat diartikan sebagai suatu situasi yang memerlukan pilihan sulit antara dua atau lebih alternatif yang memiliki konsekuensi yang berbeda-beda.
Lalu, apa yang dimaksud dengan dilema gabah basah ? Dilema gabah basah adalah suatu situasi di mana petani atau pengusaha pertanian dihadapkan pada pilihan sulit antara menjual gabah basah (gabah yang masih memiliki kadar air tinggi) atau menunggu hingga gabah kering untuk menjualnya. Dilema ini terjadi karena gabah basah memiliki harga jual yang lebih rendah dibandingkan dengan gabah kering, namun jika petani menunggu hingga gabah kering, maka risiko kerusakan gabah akibat cuaca atau hama akan meningkat.
Panen raya di musim penghujan, bagi petani, relatif menyedihkan ketimbang panen berlangsung di musim kemarau. Alasannya, bukan saja petani tidak memiliki alat pengering gabah, sehingga yang dihasilkan gabah kering panen dengan kualitas relatif basah, ternyata bagi Perum Bulog sebagai operator pangan yang ditugaskan Pemerintah, langkah menyimpan gabah basah, mengandung resiko cukup besar.
Betul ! Menghadapi panen raya kali ini, Pemerintah telah menaikan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Gabah menjadi Rp. 6500,- per kg. Artinya, naik Rp. 500,- dari HPP sebelumnya sebesar Rp. 6000,-. Kenaikan ini, tentu disambut gembira oleh petani, karena dengan adanya kenaikan HPP doharapkan penghasilan petani akan semakin meningkat, sehingga kesejahteraannya semakin membaik.
Namun begitu, petani lupa, HPP Gabah sebesar Rp. 6500,- sekiranya mereka mampu menghasilkan gabah kering panen dengan kadar air maksimal 25 % dan kadar hampa maksimal 10 %. Dengan kondisi iklim dan cuaca yang sukar ditebak, apalagi jika panen raya berbarengan dengan tibanya musim penghujan, dapat dipastikan kadar air dan kadar hampa akan lebih tinggi dari pada yang dipersyaratkan diatas.
Sekalian sosialisasi terkait harga gabah kering panen di tingkat petani dan di penggilingan, ada baiknya kita cermati keterangan berikut yang merupakan Lampiran dari Perkabadan No. 2/2025 :
A. GKP di tingkat petani
1. GKP di luar kualitas 1 di tingkat petani dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi (pemotongan/ pengurangan harga) Rp300 sehingga HPP berlaku adalah Rp6.200 per kg
2. GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air maksimal 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, dikenakan rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.075 per kg.
3. GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, kena rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku Rp5.750 per kg
B. GKP di tingkat penggilingan
1. GKP di luar kualitas 1 dengan kadar air maksimal 25%, kadar hampa 10-15%, dikenakan rafaksi Rp300, sehingga HPP-nya jadi Rp6.400 per kg
2. GKP di luar kualitas 2 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa maksimal 10%, kena rafaksi Rp425, sehingga HPP-nya jadi Rp6.275 per kg
3. GKP di luar kualitas 3 dengan kadar air 26-30% dan kadar hampa 11-15%, dikenakan rafaksi Rp750, sehingga HPP berlaku adalah Rp5.950 per kg.
Mengacu kepada keterangan diatas, apalagi bila panen berlangsung di musim hujan, dengan kondosi petani saat ini, dipastikan petani tidak akan menikmati HPP Gabah Rp. 6500,- per kg. Tanpa ada sinar matahari, omong kosong petani akan mampu menghasilkan gabah kering panen berkadar air maksimal 25 %. Kalau begitu, pasti harga gabah yang diterima petani akan lebih rendah dari Rp. 6500,-
Itu sebabnya, jika Pemerintah ingin membantu petani agar menghasilkan gabah kering panen yang memiliki kadar air maksimal 25 % itu, segeralah para petani difasilitasi dengan alat pengering gabah berteknologi sederhana. Kelompok Tani dan Gabungan Kelompok Tani, dimintakan untuk menjadi pengelola kegiatan pengeringan gabah tersebut.
Kita tidak tahu dengan pasti, mengapa Pemerintah seperti yang kurang serius, untuk memfasilitasi petani dengan alat pengering gabah. Padahal, usulan tersebut sudah sejak lama disampaikan kepada Pemerintah. Anehnya, Pemerintah lebih senang memberi bantuan Alsintan di bidang budidaya seperti traktor, sedangkan bantuan untuk paska panen hampir tidak pernah dilakukan.
Terlepas daro setuju atau tidaknya program bantua sosial yang selama ini banyak digulirkan Pemerintah, tapi memang harus diakui, bantuan sosial inilah yang benae-benar menolong petani dalam mengarungi kehidupannya. Banyak nyawa anak bangsa yang tersambung karena program bansos. Akibatnya wajar, bila ada yang menyimpulkan program bansos adalah dewa penolong kehidupan.
Perum Bulog telah ditugaskan untuk menyerap gabah dan beras dalam panen raya padi kali ini. Tugas ini menjadi semakin berat, ketika Perum Bulog diminta Pemerintah untuk menyerap beras sampai 3 juta ton. Catatan pentingnya, jumlah tersebut, tentu masih dapat diraih, sekiranya hasil panen petani benar-benar melimpah.
Namun jika produksi nya pas-pasan, boleh jadi hal ini akan menjadi soal serius yang perlu dicarikan jalan keluar nya. Sebut saja ada sergapan La Nina yang mengganggu panen petani. Hal ini, jelas akan berdampak pada produksi gabah yang dihasilkan petani. Belum lagi Perum Bulog harus bersaing ketat dengan pelaku bisnis gabah di lapangan (bandar/tengkulak/pedagang/pengusaha), yang sama-sama memerlukan gabah dan beras.
Kondisi panen di musim hujan, juga sangat memberatkan Perum Bulog dalam menyimpan gabah yang diserapnya. Sebagai operator pangan yang ditugaskan Pemerintah menyerap gabah hasil panen petani, Perum Bulog tidak mungkin akan milih-milih, mana gabah yang kualitasnya baik dan mana yang tidak. Bagaimana pun kualitasnya Perum Bulog wajib untuk menyerapnya, termasuk gabah basah.
Dapat dibayangkan, dengan anggaran terbatas, sangat sulit bagi Perum Bulog untuk menyimpan gabah dalam waktu lama. Itu sebabnya, menjadi sangat rasional, bila untuk menyerap beras 3 juta ton dengan harga sesuai HPP, Perum Bulog butuh dana sekitar 17 trilyun rupiah. Lumrah, kalau ujung-ujungnya Perum Bulog meminta Pemerintah untuk mendukungnya.
Pengalaman Perum Bulog membeli “gabah basah”, saat panen berlangsung di musim hujan, terbukti tidak mampu menyimpannya dengan baik, sehingga beras yang dihasilkannya menjadi kurang baik. Di beberapa daerah dilaporkan adanya beras berwarna kekuning-kuningan, banyak kutu, bau apek dan hancur. Bahkan istilah “beras batik” pun muncul jadi lelucon banyak kalangan. (PENULIS, KETUA DEWAN PAKAR DPD HKTI JAWA BARAT).