Dua tokoh besar dalam politik Indonesia, Megawati Soekarnoputri dan Joko Widodo, melakukan kunjungan luar negeri dalam waktu yang berdekatan. Namun, perbedaan mencolok terlihat dalam tujuan dan substansi perjalanan keduanya. Megawati menghadiri dan berbicara di World Leaders Summit on Children’s Rights di Vatikan, sementara Jokowi melakukan perjalanan ke Uni Emirat Arab (UEA) dengan agenda yang tidak jelas. Kontras ini mencerminkan perbedaan dalam pendekatan kepemimpinan dan prioritas politik masing-masing.
Megawati diundang sebagai pembicara dalam forum internasional yang membahas hak-hak anak, sebuah isu fundamental dalam kemanusiaan. Dalam kesempatan ini, ia akan menyampaikan pandangan mengenai pentingnya perlindungan dan keberpihakan terhadap hak anak. Kehadirannya di forum ini menegaskan posisinya sebagai pemimpin yang masih memiliki suara dalam diskursus global, serta menunjukkan keterlibatan aktifnya dalam isu-isu sosial yang memiliki dampak luas.
Sebaliknya, kunjungan Jokowi ke UEA tampak tanpa tujuan yang jelas dan lebih banyak diwarnai oleh kegiatan seremonial. Dalam unggahan di media sosial, ia terlihat hanya mengunjungi supermarket yang menjual produk Indonesia, bertemu dengan Dubes RI, dan berfoto bersama WNI di sana. Tidak ada informasi resmi mengenai agenda substantif dari lawatan ini, menimbulkan pertanyaan mengenai urgensi dan manfaat kunjungannya bagi kepentingan nasional.
Dari perspektif diplomasi dan peran negara dalam percaturan global, perbedaan ini cukup mencolok. Megawati hadir dalam forum yang mempertemukan para pemimpin dunia dan organisasi kemanusiaan untuk membahas masa depan anak-anak, sementara Jokowi lebih terlihat menjalankan kunjungan yang minim nilai strategis. Jika kunjungan Megawati di Vatikan bisa dilihat sebagai bagian dari soft diplomacy Indonesia di bidang kemanusiaan, maka perjalanan Jokowi ke UEA tampak lebih seperti lawatan pribadi ketimbang misi negara.
Kontras ini juga dapat mencerminkan cara kedua tokoh tersebut menempatkan diri dalam percaturan politik. Megawati, meski tidak lagi menjabat sebagai presiden, masih aktif terlibat dalam forum internasional yang relevan. Sebaliknya, Jokowi, yang masih menjabat sebagai kepala negara, justru terlihat tidak memanfaatkan perjalanannya untuk memperkuat posisi Indonesia di mata dunia.
Kunjungan luar negeri bagi seorang pemimpin, baik yang sedang menjabat maupun mantan kepala negara, seharusnya memiliki nilai strategis yang jelas. Perbedaan mencolok antara perjalanan Megawati dan Jokowi ini menjadi gambaran bagaimana seorang pemimpin memilih untuk meninggalkan jejak dalam sejarah—apakah sebagai figur yang berkontribusi dalam diskursus global, atau sekadar menghadiri acara tanpa makna yang mendalam.