Puncak Bogor – Fusilatnews- Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi Bertekad akan membongkar bangunan obyek wisata tak berizin, perusak lingkungan, penyebab banjir tanpa pandang bulu.
Saat bertemu Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi perwakilan pemilik modal Hibisc Fantasy Puncak Bogor.
Dalam pertemuan tersebut terungkap pemilik modal Hibisc Fantasy Puncak adalah pengusaha dari Semarang, Jakarta, dan Bogor. Kemudian pengelolaannya dilakukan PT Jaswita Lestari Jaya (JLJ), anak perusahaan BUMD Jabar, PT Jasa dan Kepariwisataan (Jaswita)
“Siapa yang punya modalnya sih?” tanya Dedi Mulyadi kepada perwakilan pemilik modal dikutip dari Instagram @dedimulyadi71, Sabtu (8/3/2025).
“Yang punya PT Laksmana, domisilinya Semarang. Ada juga yang dari Jakarta dan Bogor. Namanya saya tidak tahu (yang Jakarta dan Bogor),” ujar perwakilan tersebut.
Bukan Tanggung Jawab Pemprov Jabar
Dedi kemudian mengatakan, kerugian yang diakibatkan dari pembongkaran Hibisc Fantasy Puncak Bogor bukan tanggung jawab Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
Ia menjelaskan, jika ada mekanismenya Pemprov harus membayar ganti rugi kepada pemilik modal, pihaknya akan memberikan ganti rugi Rp 40 miliar.
Berita sebelumnya, Hibisc Fantasy Puncak di Tugu Selatan, Puncak, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, yang dibongkar Dedi Mulyadi baru beroperasi empat bulan.
Dedi Mulyadi menginstruksikan pembongkaran kawasan wisata tersebut mulai Kamis (6/3/2025).
Keputusan ini diambil setelah ditemukan sejumlah pelanggaran, termasuk pembangunan yang melebihi batas izin serta dampak terhadap lingkungan.
Dedi menegaskan tidak akan tebang pilih dalam menegakkan aturan, meskipun tempat wisata ini dikelola oleh PT Jaswita Lestari Jaya (JLJ), anak perusahaan BUMD Jawa Barat, PT Jasa dan Kepariwisataan (Jaswita).
“Banyak pelanggarannya, lingkungan, terus izin lokasinya karena kan (mereka) membangun melebihi apa yang ditetapkan.
Kemudian ketinggian bangunannya,” kata Dedi di lokasi. Melanggar Izin dan Merusak Lingkungan Sejak awal, Hibisc Fantasy Puncak hanya mendapatkan izin untuk mengelola lahan seluas 4.800 meter persegi.
Namun, dalam praktiknya, pembangunan meluas hingga mencapai 15.000 meter persegi, bahkan sampai ke pinggir sungai dan lahan perkebunan teh milik PTPN.
Pelanggaran ini sudah mendapat teguran sejak tempat wisata tersebut pertama kali beroperasi.
Sehari setelah dibuka pada 11 Desember 2024, Pemkab Bogor langsung menyegelnya. Namun, pihak pengelola tetap menjalankan operasional dengan alasan telah mengantongi izin dasar dan masih melengkapi dokumen yang diperlukan.
Manajer Hibisc Fantasy Puncak, Andi Afriansyah, sebelumnya menyatakan bahwa penyegelan hanya berlaku untuk sebagian wahana, terutama Bianglala, bukan untuk seluruh area wisata.
“Meski mendapat teguran, kami tetap diizinkan buka dan beroperasi sesuai izin yang sudah dikantongi sambil melengkapi proses perizinan yang belum selesai,” ujarnya Sabtu (14/12/2024).
Namun, fakta di lapangan menunjukkan adanya perluasan lahan yang tidak sesuai dengan perizinan awal. Menurut Dedi, hal ini tidak bisa dibiarkan, sehingga tindakan tegas berupa pembongkaran langsung dilakukan
“Sudah kami cek satu-satu, jadi tindakan tegasnya dibongkar mulai hari ini,” tegasnya. Akan Dihijaukan Kembali
Setelah pembongkaran selesai, lahan bekas wisata Hibisc Fantasy Puncak tidak akan dibiarkan kosong.
Dedi menegaskan bahwa kawasan tersebut akan dikembalikan ke fungsi awalnya sebagai area hijau yang dikelola Pemerintah Provinsi Jawa Barat.
“Kami akan hijaukan, kami akan hutankan kawasan ini. Kemudian, nanti menjadi tanah yang dikelola Pemprov untuk menjadi hutan,” ungkapnya.
Evaluasi Menyeluruh
Menanggapi keputusan ini, Direktur PT JLJ, Angga Kusnan, menyatakan bahwa pihaknya akan melakukan evaluasi terhadap pengelolaan tempat wisata tersebut.
“Kami akan melakukan evaluasi besar-besaran dan melakukan kajian ulang agar kehadiran obyek wisata yang bertujuan keberlanjutan lingkungan tidak malah membuat resah masyarakat,” ujar Angga.
Dengan adanya langkah tegas ini, kawasan yang sebelumnya digunakan untuk hiburan akan dikembalikan ke fungsi ekologisnya, mengurangi risiko kerusakan lingkungan akibat pembangunan yang tidak sesuai dengan regulasi.


























