OLEH: ENTANG SASTRAATMADJA
Di banyak negara—termasuk di Tanah Merdeka ini—kaum tani kerap berada di barisan paling belakang panggung pembangunan. Hak mereka untuk hidup sejahtera seakan kalah wibawa dibanding para pemilik modal besar, para “9 Naga” yang ditengarai mengendalikan denyut ekonomi bangsa.
Tidak mengherankan jika kaum tani lebih pantas disebut korban pembangunan, bukan penerima manfaatnya. Membengkaknya jumlah petani gurem selama satu dekade terakhir (2013–2023), sebagaimana dicatat dalam Sensus Pertanian 2023, menjadi bukti nyata betapa banyak anak bangsa yang diam-diam divonis sebagai korban dari kebijakan pembangunan yang timpang.
Kenaikan 2,64 juta rumah tangga petani gurem itu menunjukkan betapa posisi petani makin terjepit. Tanah garapan yang kian menyempit dan alih fungsi lahan yang makin membabi buta membuat petani tak mampu mempertahankan lahan hidupnya. Terjadilah apa yang kini kita kenal sebagai guremisasi petani.
Petani gurem hidup dari lahan tak lebih dari 0,25 hektar. Kehidupan mereka memprihatinkan—bertahan hari demi hari hanya untuk menyambung nyawa. Yang lebih menyedihkan, mereka hidup bergantung pada bantuan. Bukan karena mereka malas, tetapi karena sistem tidak memberi ruang bagi kemandirian. Tanpa bantuan, hampir tidak ada kehidupan yang bisa dijalani.
Padahal salah satu tugas utama Pemerintah adalah mensejahterakan petani. Negara seharusnya hadir di tengah kesulitan mereka. Ada dua masalah klasik yang selalu berulang:
harga gabah anjlok setiap musim panen, dan
kelangkaan pupuk bersubsidi menjelang musim tanam.
Sebentar lagi musim panen gadu (April–September 2025) akan tiba, meski masa tanamnya mundur satu hingga dua bulan. Bagi petani, panen raya adalah momen penentu nasib: apakah hidup mereka membaik, stagnan, atau justru makin merosot.
Baik petani maupun Pemerintah sama-sama berharap panen gadu dapat menurunkan harga beras ke tingkat yang wajar. Namun semua itu mustahil tercapai tanpa keberpihakan nyata Pemerintah. Petani hanya berharap satu hal: harga gabah jangan anjlok. Sesederhana itu. Namun entah mengapa, persoalan ini terus berulang dari tahun ke tahun, dan Pemerintah tampak tidak berdaya mengatasinya.
Mengapa menjaga harga gabah tetap wajar saja begitu sulit? Dengan kewenangan sebesar yang dimiliki Pemerintah, seharusnya mudah untuk menerbitkan regulasi yang melindungi petani, pedagang, dan masyarakat secara seimbang.
Di sinilah peran Badan Pangan Nasional (Bapanas) menjadi krusial. Berdasarkan Perpres 66/2021, Bapanas bertanggung jawab menetapkan Harga Pembelian Pemerintah (HPP) gabah dan beras, serta Harga Eceran Tertinggi (HET). Pertanyaan besarnya: apakah regulasi yang ada saat ini masih relevan?
HPP gabah yang dipatok Rp 6.500/kg tampaknya perlu dihitung ulang. Banyak petani merasa baru bisa bernapas lega ketika harga gabah berada di kisaran Rp 7.000–7.500/kg. Karena itu, menghadapi panen raya, HPP idealnya dinaikkan agar petani tetap tersenyum ketika musim panen tiba.
Dengan HPP yang lebih wajar, “kutukan harga jatuh saat panen raya” bisa dihindari. Dan ketika harga jatuh di bawah HPP, negara berkewajiban membeli gabah di atas batas tersebut. Pertanyaannya sederhana: apakah Pemerintah benar-benar berniat membuat petani bahagia?
Jika Pemerintah ingin harga beras turun ke tingkat wajar, maka Pemerintah juga berkewajiban menjamin harga gabah tetap menguntungkan bagi petani. Di sinilah kinerja Bapanas diuji: mampu atau tidak menerbitkan regulasi yang berpihak pada jutaan petani yang menggantungkan hidup pada tanah semakin sempit.
Bapanas sebagai perumus kebijakan dan Perum Bulog sebagai operator di lapangan memiliki kapasitas untuk mewujudkannya. Dengan demikian, “gugatan petani” atas harga gabah yang kerap merosot bukan lagi sekadar wacana—tetapi menjadi fakta keras kehidupan. Fakta yang tidak boleh terus-menerus ditutup mata.
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)

OLEH: ENTANG SASTRAATMADJA























