Hari ini, perjalanan panjang Jokowi sebagai Presiden Indonesia selama satu dekade resmi berakhir. Namun, di balik segala pencapaian yang sering kali disorot, ada realitas pahit yang tidak bisa diabaikan: kinerja yang buruk selama 10 tahun ini telah menggiringnya ke ujung jalan buntu, menempatkannya dalam situasi di mana ia sendiri tampak kehilangan arah. Seperti dalam lirik, “At the end of a river, the water stops its flow, at the end of a highway, there’s no place you can go,” Jokowi kini berada di titik di mana janji-janji besar yang pernah ia suarakan seolah hilang tanpa bekas.
Ketika Jokowi pertama kali naik ke tampuk kekuasaan pada 2014, harapan masyarakat begitu besar. Ia datang dengan citra sebagai pemimpin sederhana yang peduli pada rakyat kecil, seorang “manusia biasa” yang naik ke kursi presiden dengan janji akan membawa perubahan nyata. Namun, seiring berjalannya waktu, ekspektasi tersebut mulai tergerus oleh kenyataan pahit. Pembangunan infrastruktur yang massif, terutama jalan tol yang menjadi ikon era kepemimpinannya, memang tampak mengesankan dari luar, tetapi tidak cukup untuk menutupi berbagai kegagalan lain yang terjadi di bawah permukaannya.
Seperti yang dilantunkan dalam lirik, “At the end of a highway, there’s no place you can go,” pembangunan jalan tol, meski membuka akses fisik ke berbagai daerah, tidak menawarkan solusi bagi permasalahan sosial, ekonomi, dan politik yang lebih mendalam. Jalan tol bukanlah jawaban untuk pendidikan yang merosot, kualitas kesehatan yang stagnan, atau kesenjangan ekonomi yang semakin lebar. Di ujung jalan yang dibangun Jokowi, rakyat menemukan kenyataan pahit bahwa infrastruktur saja tidak cukup untuk menciptakan kemakmuran sejati. Kesejahteraan tidak hanya tentang beton dan aspal, melainkan tentang bagaimana pemimpin menjalankan kejujuran, tanggung jawab, dan visi jangka panjang untuk rakyatnya.
Di sisi lain, gaya kepemimpinan Jokowi juga dipenuhi dengan kontroversi politik. Pembangunan fisik yang masif sering dianggap sebagai pengalihan perhatian dari masalah-masalah mendasar seperti korupsi yang masih merajalela, penegakan hukum yang tebang pilih, dan semakin menguatnya oligarki politik. Dalam dekade terakhir, demokrasi Indonesia tampak mengalami kemunduran, dengan ruang publik yang semakin menyempit, suara-suara kritis yang dibungkam, dan kebebasan berekspresi yang terancam. Semua ini menambah beban pada akhir perjalanan Jokowi sebagai presiden, yang alih-alih meninggalkan warisan kepemimpinan yang kokoh, justru membuat rakyat bertanya-tanya, “Where do you go, Mulyono?”
Seperti halnya sungai yang airnya berhenti mengalir di ujung, demikian juga dengan pemerintahan Jokowi. Kebijakan yang awalnya tampak mengalir lancar dengan dukungan luas masyarakat, kini tersendat dan mandek. Ekonomi yang dijanjikan akan tumbuh pesat justru dibebani dengan utang luar negeri yang terus membengkak. Pertumbuhan ekonomi yang stagnan, inflasi yang meroket, dan tingkat pengangguran yang tetap tinggi menunjukkan bahwa arah kebijakan ekonomi Jokowi sering kali tidak mencapai sasaran. Pada akhirnya, Jokowi seolah menemui kebuntuan di ujung pemerintahannya, di mana berbagai kebijakan yang ia buat tidak mampu membawa perubahan yang berarti bagi kesejahteraan rakyat secara menyeluruh.
Kegagalan lainnya adalah bagaimana Jokowi mengelola isu-isu politik dalam negeri. Konsolidasi kekuasaan yang cenderung menguntungkan kelompok oligarki serta minimnya pemberantasan korupsi yang nyata membuat banyak pihak meragukan komitmennya terhadap reformasi politik. Alih-alih memperkuat demokrasi, masa kepemimpinan Jokowi justru memperlihatkan wajah baru politik Indonesia yang semakin tersandera oleh kepentingan segelintir elit.
Jokowi kini berada di akhir perjalanannya sebagai presiden. Namun, pertanyaan yang lebih penting untuk ditanyakan adalah: ke mana arah bangsa ini setelah ia lengser? Di akhir kepemimpinannya, Indonesia dihadapkan pada berbagai tantangan berat, mulai dari ketidakstabilan ekonomi hingga ancaman pada demokrasi. Jika yang diwariskan hanyalah jalan tol, tanpa pembangunan moral dan integritas, maka kita akan menemukan diri kita berada di ujung jalan tanpa tempat lagi yang bisa dituju.
Pada akhirnya, Jokowi meninggalkan panggung politik, tetapi masalah yang ia tinggalkan masih jauh dari kata selesai. Dan seperti lirik lagu, di ujung sungai yang airnya berhenti mengalir, kita hanya bisa bertanya, “Where do you go, Mulyono?” Mungkin jawabannya ada di masa depan, di mana kita berharap pemimpin berikutnya dapat belajar dari kegagalan ini dan membawa Indonesia ke arah yang lebih baik—ke arah yang benar-benar berarti bagi seluruh rakyat, bukan hanya bagi segelintir orang.