Sejumlah ekonom mengatakan rencana pemerintah membentuk skema urun dana (crowdfunding) dari masyarakat untuk pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), mengindikasikan adanya “problematika” dan “kesalahan kalkulasi” dalam menyusun skema pembiayaan megaproyek ini di tengah “sepinya” minat investor.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Tauhid Ahmad, mengatakan sumber pendanaan yang belum sesuai harapan membuat pemerintah mau tidak mau mencari berbagai sumber lainnya.
Implikasi lebih jauhnya, kata dia, megaproyek IKN terancam mundur dari tenggat, bahkan mangkrak.
“Akhirnya salah satu caranya lewat model crowdfunding. Tentu saja investasinya dari masyarakat, yang punya uang pribadi, dikelola, diinvestasikan ke proyek-proyek di IKN,” kata Tauhid.
Presiden Joko Widodo sebelumnya pernah menyatakan bahwa porsi pembangunan IKN yang menggunakan APBN hanya akan berkisar 20% dari total kebutuhan anggaran sebesar Rp466 triliun.
Oleh sebab itu, Jokowi juga meminta Otorita Ibu Kota Negara “fleksibel dan lincah mendapatkan skema pendanaan dari berbagai skema yang ada”.
Tetapi di saat yang sama, belum ada satu pun kesepakatan atau komitmen dengan investor asing. Bahkan Softbank, sebagai investor yang diklaim pemerintah menjanjikan investasi Rp1.000 triliun, menyatakan mundur sebelum ada komitmen di atas kertas.
Pendapat senada juga disampaikan oleh Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira.
“Ide ini tiba-tiba muncul di tengah hengkangnya Softbank, mendadak minta crowdfunding ini kan cukup panik ya, khawatir proyek IKN tertunda. Kalau andalkan dari APBN, kondisi fiskalnya tidak mendukung karena masih dalam tekanan akibat pemulihan ekonomi,” kata Bhima kepada BBC News Indonesia, Rabu (23/3).
Namun, Ketua Tim Komunikasi Ibu Kota Negara (IKN) Sidik Pramono menegaskan bahwa skema urun dana muncul “bukan karena calon investor menyatakan tidak tertarik lagi di program pembangunan IKN”.
Menurut dia, pemerintah membidik berbagai sumber pendanaan karena telah berkomitmen untuk “tidak membebani APBN”.
Bagaimana skema pendanaan IKN?
Mega proyek pembangunan IKN diestimasikan membutuhkan anggaran sebesar Rp466 triliun.
Sejauh ini, sumber pendanaan rencananya berasal dari kerja sama pemerintah dengan badan usaha (KPBU) sebesar 54,6% (Rp254,4 triliun), kemudian dari anggaran pendapatan belanja negara (APBN) sebesar 19,2% (Rp89,5 triliun), dan dari pihak swasta sebesar (26,2%) Rp122,1 triliun.
Selain skema APBN, Sidik mengatakan pendanaan IKN juga bisa bersumber dari Kerja Sama Pemerintah dengan Badan Usaha (KPBU), kontribusi swasta murni, dukungan pendanaan internasional, serta penghimpunan dana dari masyarakat dan filantropi.
Sidik Pramono mengatakan detil dari skema-skema pembiayaan itu, termasuk rencana urun dana dari masyarakat, masih disusun dalam Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang rencananya akan diterbitkan paling lambat pertengahan April 2022.
RPP itu merupakan aturan turunan dari Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 Tentang Ibu Kota Negara yang mengamanatkan bahwa pembiayaannya bisa berasal dari APBN maupun sumber lain yang sah dan sesuai peraturan perundang-undangan.
Pada saat yang sama, Sidik mengatakan pemerintah masih menjajaki calon investor potensial untuk berkontribusi pada pembangunan IKN. Sejauh ini, belum ada kesepakatan resmi maupun komitmen investasi yang terbentuk meski pemerintah mengklaim ada “ketertarikan” dari sejumlah pihak.
“Tentu sejumlah potential investor menyatakan tertarik di program IKN dan tentu saja minat awal ini akan kita lanjutkan lagi dengan pembicaraan lebih intensif, teknis, detil, sehingga berujung pada kerja sama para pihak,” ujar Pramono.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan mengklaim telah ada sekitar lima negara yang siap mendanai IKN. Salah satunya adalah investor dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab yang dia klaim siap mengucurkan investasi senilai US$20 miliar (Rp287,6 triliun) untuk IKN.
Mungkinkah pembangunan IKN menggunakan skema urun dana?
Crowdfunding atau urun dana merupakan skema pendanaan yang melibatkan masyarakat secara luas. Sistem pengumpulan dananya pada umumnya bisa diakses melalui internet.
Namun INDEF dan CELIOS menyatakan sejauh ini belum pernah ada pembangunan infrastruktur, apalagi megaproyek, di Indonesia yang menggunakan skema ini.
Meski secara konsep skema ini memungkinkan dilaksanakan, Bhima Yudhistira mengatakan penerapannya pada megaproyek IKN “tidak pas” dan “tidak ada urgensinya” di saat sebagian masyarakat masih resisten terhadap ambisi pemerintah memindahkan ibu kota.
Apalagi, rencana itu disampaikan di tengah situasi ekonomi saat ini yang belum sepenuhnya pulih dari pandemi. Dia memprediksi skema urun dana ini akan sepi peminat.
“Crowdfunding itu lebih untuk proyek sosial, sementara IKN ini kan akan join dengan investor, sifatnya lebih komersil. Ini jadi pertanyaan besar, apakah masyarakat akan tertarik?”
“Dari masyarakat juga sekarang kan sedang menghadapi tekanan biaya hidup, kenaikan harga energi, kenaikan harga pangan, minyak goreng, jadi kalau disuruh rembuk untuk IKN kan tidak pas,” ujar Bhima.
Sedangkan menurut Tauhid Ahmad dari INDEF, skema urun dana sebetulnya telah berkembang di Indonesia dalam tiga tahun terakhir, namun lebih sebagai alternatif pendanaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).
Para investornya akan mendapatkan keuntungan dari dana yang mereka investasikan melalui sistem crowdfunding kepada UMKM. Tetapi, Tauhid mengatakan teknis dan risikonya tentu berbeda pada proyek infrastruktur.
“Mereka mengasumsikan ini semudah crowdfunding untuk kredit, padahal kan beda. Kalau proyek infrastruktur itu jangka waktu pengembalian (keuntungannya) lama dan ketidakpastiannya tinggi,” ujar Tauhid.
Gagasan pemerintah mengusulkan skema urun dana ini, dia sebut sebagai “bukti nyata bahwa terdapat problematika atau kesalahan kalkulasi dalam skema pendanaan yang sudah ditetapkan dalam rencana program dan anggaran IKN.”
“Saya kira memang perlu dikaji kembali kelayakannya, dilihat mana yang tidak perlu dalam pembangunan IKN, sehingga tidak perlu ada berbagai upaya di luar proses bisnis dan keuangan yang lumrah terjadi di masyarakat,” kata Tauhid.
Sementara itu, Ketua Tim Komunikasi IKN, Sidik Pramono, menegaskan bahwa skema urun dana hanya lah satu dari banyak skema lainnya yang dibidik pemerintah, sebab pemerintah telah berkomitmen agar pembangunan IKN tidak membebani APBN.
“Ini muncul bukan karena ada calon investor yang menyatakan tidak tertarik lagi di di program pembangunan IKN. Bukan itu. Justru ini pemerintah mengeksplorasi skema-skema yang sah dan dimungkinkan berdasarkan peraturan perundang-undangan,” ujar Sidik.
Bagaimana dampaknya apabila skema pendanaan IKN tak sesuai harapan?
Tauhid menuturkan apabila skema pendanaan IKN tidak berjalan sesuai yang diharapkan pemerintah, maka risikonya akan membebani APBN.
Persoalannya, mengalokasikan APBN untuk fokus pada megaproyek IKN pun bukan hal yang mudah di tengah pemulihan ekonomi akibat pandemi.
Menurut dia, opsi yang paling memungkinkan untuk mendanai proyek IKN dari APBN adalah dengan menjual Surat Berharga Negara (SBN).
“Mau nggak mau dikembalikan pada pembelian SBN dan negara yang mengaturnya, tapi tentu butuh waktu, komitmen dari pemerintahan baru dan waktu yang jauh lebih lama. Tidak perlu dipaksakan 2045 (proyek IKN) selesai,” tutur Tauhid.
Persoalan pendanaan serta belum pastinya komitmen politik dari pemerintahan selanjutnya, setelah Jokowi menyelesaikan masa jabatannya pada 2024, dia sebut “sangat mungkin” membuat proyek IKN tertunda, bahkan mangkrak.
“Kalau pemerintahan mendatang tidak menaruh (proyek IKN) sebagai prioritas, maka anggarannya tentu akan hilang,” kata Tauhid.
Hal senada juga disampaikan Bhima Yudhistira, yang menyebut “ambisi politik” Jokowi untuk memindahkan IKN juga lah yang menimbulkan “risiko politik”.
“Ada kekhawatiran meskipun sudah jadi Undang-Undang IKN, presiden berikutnya bisa saja mengeluarkan Perppu (Peraturan Pengganti Undang-Undang) untuk menganulir Undang-Undang IKN. Artinya tetap ada risiko politik yang ditanggung investor. Ambisi politik boleh, tapi harus ada terencana dan terukur,” ujar Bhima.
Oleh sebab itu, Bhima menyarankan pemerintah untuk “tidak memaksakan” ambisi politik untuk mewujudkan megaproyek IKN di tengah segala risiko itu.
“Kalau pemerintah enggak bisa dapat investor untuk menggantikan posisi Softbank, belum ada investor yang berkomitmen, maka sebaiknya ditunda dulu proyeknya. Itu jalan yang terbaik,” kata Bhima.
Sumber : BBC