Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Profesionalitas Panitia Seleksi Komisi Kepolisian Nasional (Pansel Kompolnas) kembali dipertanyakan. Kali ini oleh calon anggota Kompolnas dengan nomor peserta TM 109, Andi Syafrani yang meminta klarifikasi Pansel dalam mengubah status peserta yang lolos untuk disampaikan kepada Presiden Joko Widodo.
Peserta yang diloloskan Pansel tersebut ialah Prof Dr Deni SB Yuherawan yang semestinya dari jalur Pakar Kepolisian (PK) dimasukkan ke jalur Tokoh Masyarakat (TM), sehingga peralihan status ini sangat berdampak pada kuota atau hak dari peserta lainnya yang mewakili unsur dari tokoh masyarakat.
Selain itu, klasifikasi dua unsur tersebut bersifat kategori imperatif yang diatur dalam peraturan, sehingga penetapan posisi peserta dalam salah satu unsur bersifat tetap sejak awal hingga akhir.
Sejak awal pendaftaran, kata Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso di Jakarta, Jumat (27/9/2024), seluruh peserta sudah dikelompokkan ke dalam dua kategori yakni Tokoh Masyarakat (TM) dan Pakar Kepolisian (PK). Deni Yuherawan, kata Sugeng, dalam pendaftaran peserta dikelompokkan ke unsur Pakar Kepolisian (PK) dengan nomor peserta PK 63. “Sementara saat diumumkan lolos enam besar yang diajukan ke Presiden, yang bersangkutan dimasukkan ke dalam kategori Tokoh Masyarakat (TM),” sesal Sugeng.
Sugeng mengaku sepakat dengan Andi Syafrani bahwa putusan Pansel Kompolnas dalam mengubah status peserta yang diloloskan tersebut cacat hukum dan/atau dapat dibatalkan secara hukum. “Oleh karena itu, putusan tersebut perlu dibawa ke PTUN (Pengadilan Tata Usaha Negara, red) agar menjadi pembelajaran di masa mendatang,” cetusnya.
Sebelumnya, IPW juga menerima aduan ketidakprofesionalan Pansel Kompolnas dari peserta seleksi anggota Kompolnas periode 2024-2028, Nur Setia Alam Prawiranegara, peserta nomor PK 087 yang didampingi kuasa hukumnya dari Lembaga Bantuan Hukum Keadilan
Bogor Raya (LBH KBR) karena digugurkan hanya berdasarkan “catatan BNPT” tanpa melakukan klarifikasi dan wawancara langsung.
Setelah ditelusuri, kata Sugeng, kegagalan Nur Setia dalam ikut seleksi anggota Kompolnas itu karena adanya informasi catatan dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) yang menyatakan, “Peserta dan/atau Keluarganya Terafiliasi
Radikalisme dan Terorisme”.
Sehingga, lanjut Sugeng, untuk menjaga nama baik, harkat dan martabatnya maka Nur Setia Alam Prawiranegara melakukan
permohonan klarifikasi atas informasi tersebut dengan bersurat kepada Kepala BNPT saat itu, Komjen Rycko Amelza Dahniel. Isinya, jelas Sugeng, tentang Permohonan Klarifikasi dan surat pernyataan dari BNPT terhadap catatan untuk bahan penilaian seleksi anggota
Kompolnas tahun 2024-2028 atas nama Nur Setia Alam Prawiranegara dengan tembusan kepada Pansel Kompolnas
dan Presiden RI pada 22 Agustus 2024.
“Setelah diadakan pertemuan dengan pihak BNPT disimpulkan bahwa Nur Setia Alam Prawiranegara dan keluarga ‘clear’ (bersih), tidak ada keterlibatan dan/atau terafiliasi dengan radikalisme dan terorisme,” tukasnya.
“Karenanya, Nur Setia Alam Prawiranegara melalui kuasa hukumnya dari LBH KBR meminta klarifikasi gugurnya pada seleksi anggota Kompolnas periode 2024-2028 kepada Pansel,” tambahnya.
Permintaan klarifikasi dari dua peserta seleksi anggota Kompolnas tersebut, tegas Sugeng, tidak pernah terjadi di masa sebelumnya. “Apalagi terpublikasi secara terbuka di ruang publik, baik di media massa online atau media sosial (medsos),” tandasnya.
Akuntabilitas pansel seleksi dipertaruhkan terkait munculnya protes peserta seleksi. Bila tidak diklarifikasi secara transparan, adil dan jauh dari kolusi maka hasil seleksi kompolnas akan dibebani dengan banyak pertanyaan masyarakat. Padahal kompolnas adalah harapan masyarakat pencari keadilan ketika mengalami ketidak adilan dari banyak oknum polisi.