Oleh : Damai Hari Lubis-Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212.
Setelah proses pemilu dengan segala tahapan hukum yang telah dilalui, maka terlepas dari pro dan kontra, penerimaan atau penolakan, oposisi atau koalisi, suka atau tidak suka, sejak tanggal 20 Oktober 2024, setelah serah terima jabatan kepresidenan dari Jokowi, Prabowo Subianto mesti diakui keabsahannya sebagai Presiden RI ke-8.
Namun, dalam hubungan hukumnya dengan Jokowi, “andai kelak” kecurigaan publik selama ini terhadap Jokowi terkait kepemilikan dan atau penggunaan ijazah palsu S1 dari Fakultas Kehutanan UGM terbukti melalui proses investigasi dan penyidikan, hingga dakwaan dan tuntutan serta putusan pidana sesuai KUHAP (due process dan equal), dan mencapai inkracht atau berkekuatan hukum tetap, maka:
Dengan adanya vonis inkracht tersebut, akan tercipta historis hubungan hukum dan politik dalam perspektif sosiologi hukum, dengan segala dampak negatif bagi administrasi dan ketatanegaraan RI.
Implikasi hukum atas kebenaran materiil atau secara hakikat bahwa legalitas hukum Jokowi selama mengikuti beberapa kompetisi dalam dua kali pemilu Pilpres berikut hasilnya adalah cacat demi hukum. Hal ini karena persyaratan hukum yang Jokowi gunakan sebagai kontestan pemilu pilpres beralaskan kejahatan (delik).
Sehingga, sisi karakter kepribadian Jokowi pastinya anomali dari role model, atau amoral, dengan karakteristik kriminal, yang dapat ditandai dengan adanya modus operandi menggunakan ijazah palsu untuk misinya menjadi Walikota Surakarta. Modus ini berlanjut dengan penggunaan ijazah palsu sebagai persyaratan Pilgub DKI Jakarta, kemudian Ia lanjutkan lagi untuk mengikuti Pemilu pilpres sebanyak dua kali (2014 dan 2019).
Indikasi dari perbuatan delik yang dilakukan oleh Jokowi secara berulang tersebut menunjukkan tindak pidana berlanjut atau berulang atau delik konkursus (samenloop), sebab unsur-unsurnya adalah delik yang dilakukan lebih dari satu kali dan kesemuanya belum ada yang diadili. Perbuatan tersebut dilakukan oleh Jokowi secara dolus/mens rea atau dengan kehendak sengaja dan berencana, karena terbukti beberapa kali delik dilakukan dalam tempus yang berbeda (beberapa kali pemilu). Sehingga, Jokowi pastinya pribadi yang tidak pantas untuk menjadi pemimpin bangsa ini.
Dalam perspektif hukum, implikasi dari terbuktinya kecurangan Jokowi melalui penggunaan ijazah palsu akan menciptakan ketidakstabilan hukum dan politik. Legalitas dari semua keputusan yang diambil selama masa jabatannya bisa dipertanyakan, dan legitimasi pemerintahannya akan terancam.
Dari segi karakter, tindakan-tindakan ini mencerminkan pribadi yang tidak jujur dan manipulatif. Seorang pemimpin harus menjadi teladan moral dan etika bagi rakyatnya. Jika seorang pemimpin didapati berulang kali melakukan kejahatan demi kepentingan pribadi, hal ini menodai kepercayaan publik dan merusak citra negara.
Dalam konteks sosiologi hukum, terbuktinya penggunaan ijazah palsu oleh seorang pemimpin negara seperti Jokowi akan menjadi preseden buruk. Ini menunjukkan bahwa sistem hukum dapat dikelabui dan diperalat untuk kepentingan pribadi, yang akhirnya merusak tatanan demokrasi dan keadilan.
Oleh karena itu, jika kebenaran ini terungkap, maka perlu adanya tindakan tegas dari aparat penegak hukum untuk memastikan bahwa keadilan ditegakkan. Ini juga menjadi pelajaran penting bagi masyarakat dan generasi mendatang bahwa kejujuran dan integritas adalah nilai-nilai yang harus dijunjung tinggi, terutama oleh mereka yang berada di posisi kekuasaan.
Tragisnya, Prabowo malah ditunggangi dan dijadikan pembantu oleh Jokowi. Dalam kabinet pemerintahan Jokowi, Prabowo dijadikan Menteri Pertahanan yang harus setia kepada Jokowi selama lima tahun. Oleh karena itu, Prabowo tidak punya hutang budi kepada Jokowi, justru sebaliknya, dia dihinakan oleh seseorang yang tidak layak menjadi kompetitor seorang Letnan Jenderal TNI, alumni Akmil, eks Komandan Kopassus, serta eks Pangkostrad.
Tipikal perilaku kriminal Jokowi, mutatis mutandis, berdampak negatif dan bakal terus eksis serta menjadi sejarah yang debatable kebenarannya di kalangan anak bangsa yang kelak tak kunjung selesai. Lebih dari itu, hal ini menjadi misteri historis “rahasia kejahatan negara” yang berlanjut. Hal ini sungguh tidak masuk akal di alam kehidupan modern, transparansi, dan demokrasi. Sungguh sia-sia jika negara mau berkonspirasi melakukan kejahatan sejarah hukum demi individu dengan rekam jejak buruk (bad character), “bekas” pemimpin perusak bangsa atau the character of the nation’s destroyer leader. Oleh karena itu, gejala-gejala cacat moral sejarah ini wajib dihentikan melalui proses hukum oleh pemerintahan baru yang berkuasa.
Sebab lainnya, Indonesia adalah negara hukum, bukan negara para bandit. Demi memenuhi makna dari fungsi dan manfaat hukum (kepastian dan keadilan), perilaku Jokowi yang membodohi seluruh bangsa dan menginjak-injak harkat martabat lembaga negara serta pernah menipu bakal presiden Prabowo, selaku individu dan eks lawan pada dua kali pemilu pilpres, tidak bisa dibiarkan begitu saja. Bukan karena kerugian materiil dan imateriil Prabowo, melainkan karena hal itu justru menjadikan Prabowo sebagai “pembantu” yang harus tunduk pada Jokowi.
Selanjutnya demi wibawa hukum dan keadilan, dan jatidiri kepemimpinan Prabowo kelak dari sisi sejarah bagi seluruh bangsa dan negara ini, yang hakiki, namun oleh sebab hukum dan sejarah bangsa sebagai ilmu pengetahuan, dan untuk mempersulit jika ada kelompok masyarakat yang ingin berusaha memutar balikkan fakta sejarah hukum (Jo. sejarah kejahatan Gestapu PKI), maka Jokowi ideal dinyatakan melalui ketetapan hukum (TAP MPR RI) sebagai presiden cacat bangsa.
Serta segala akibat hukumnya, pemerintahan Prabowo, kelak harus mencabut dan mengganti semua produk hukum dan semua diskresi, sepanjang dan terbatas terhadap segala kebijakan dan semua diskresi yang memang nyata merugikan bangsa dan negara ini termasuk produk pola nepotisme.