Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta – The New Order is back! Orde Baru telah kembali!
Demikianlah. Orde Baru tanpa malu-malu telah menampakkan diri. Dalam diri Joko Widodo. Dalam diri Prabowo Subianto. Dalam diri Bambang Soesatyo. Dalam diri Agus Subiyanto. Dalam diri Listyo Sigit Prabowo. Dalam diri yang lain-lainnya
Presiden Jokowi tak sungkan-sungkan menempatkan jenderal polisi aktif sebagai pelaksana tugas (plt) gubernur di sejumlah daerah di Indonesia menjelang Pemilu 2024 lalu.
Prabowo, Presiden terpilih di Pilpres 2024, tak segan-segan mengunggah foto bersama mendiang mantan mertuanya, Jenderal Besar Soeharto yang merupakan Presiden ke-2 RI.
Dalam unggahan di akun Instagramnya itu, Prabowo menyampaikan ucapan selamat ulang tahun kepada “the smiling general” (jenderal murah senyum) yang jatuh pada 8 Juni. Soeharto adalah ikon rezim Orde Baru.
Ketua MPR RI Bambang Soesatyo dan jajarannya kini sedang safari politik ke tokoh-tokoh nasional untuk menghimpun aspirasi dan berjualan wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, salah satunya soal sistem pemilihan presiden secara langsung yang ada wacana akan dikembalikan ke sistem tak langsung seperti sebelum tahun 2004. Jika amandemen ini gol, maka Presiden akan kembali dipilih oleh MPR.
Selain sistem pilpres, MPR juga mewacanakan akan memasukkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN), sebagai gantinya Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) dalam amandemen ke-5 UUD 1945 yang segera akan dilaksanakan jika semua fraksi di MPR sudah sepakat mengamandemen konstitusi.
Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto tak malu-malu lagi melontarkan pernyataan kontroversial bahwa kini TNI bukan hanya menerapkan kembali dwifungsi atau peran ganda, melainkan multifungsi. Di setiap lini ada TNI.
Dwifungsi ABRI seperti yang pernah diterapkan rezim Orde Baru adalah menempatkan ABRI, kini TNI dalam dua fungsi sekaligus, yakni fungsi sebagai kekuatan pertahanan dan keamanan di satu sisi, dan di sisi lain fungsi sebagai kekuatan sosial politik, sehingga di DPR/MPR pun saat itu ada Fraksi TNI/Polri. Akibatnya, banyak jabatan-jabatan sipil yang ditempati militer.
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo pun suka menempatkan jenderal-jendetalnya di jabatan-jabatan sipil. Teranyar adalah Kapolda Jawa Tengah Irjen Ahmad Luthfi yang diproyeksikan menjadi Inspektur Jenderal Kementerian Agama. Dari Irjen di Polri menjadi “Irjen” di Kemenag, Sama-sama Irjen.
Kebijakan Jokowi menempatkan perwira-perwira tinggi Polri pada jabatan-jabatan sipil ternyata diikuti oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo. Maklum, Kapolri adalah bawahan Presiden.
Dalam rencana revisi UU No 34 Tahun 2004 tentang TNI, dan UU No 2 Tahun 2002 tentang Polri, ada wacana untuk memperluas kewenangan TNI dan Polri, termasuk untuk menempati jabatan-jabatan sipil yang akan diperluas “lahan”-nya di kementerian-kementerian dan lembaga-lembaga negara.
Itulah yang memantik tudingan kembalinya dwifungsi ABRI (dan juga Polri).
Penghapusan dwifungsi ABRI merupakan tuntutan dari gerakan Reformasi 1998 yang dimotori mahasiswa, di samping pemberantasan kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN).
Mengapa Orde Baru Bisa Kembali Lagi?
Kini, rezim Orde Baru benar-benar telah kembali dan menguasai Indonesia lagi. Mengapa itu bisa terjadi?
Pertama, banyak warga negara yang kecewa dengan pemerintahan hasil reformasi sejak 1999 hingga kini. Ekonomi ambruk. Penghidupan rakyat kian terpuruk.
Hukum juga amburadul dan bisa diperjualbelikan. Tak ada keadilan bagi orang papa.
Korupsi merajalela, meliputi semua unsur dalam Trias Politika, yakni eksekutif, legislatif dan yudikatif. Oknum-oknum TNI/Polri pun banyak yang korupsi.
“Piye Le, penak jamanku, toh?” bunyi poster-poster bergambar Pak Harto yang berseliweran di ruang publik, yang merupakan sindiran atau satire.
Kedua, mereka yang kecewa dengan rezim Orde Reformasi, terutama generasi tua, pun rindu bernostalgia dengan masa lalunya. Rezim Orde Baru pun dipuja-puja.
Akibatnya, mereka tak malu-malu lagi mengusung atau bahkan mengadopsi konsep Orde Baru. Orde Baru pun telah benar-benar kembali. Salah satu pihak yang mengembalikan rezim Orde Baru berkuasa lagi di Indonesia adalah Bambang Soesatyo, Ketua MPR yang juga Wakil Ketua Umum Partai Golkar.
Golkar, yang kini menjelma Partai Golkar, adalah penopang utama kekuasaan rezim Orde Baru, di samping birokrasi, dan TNI/Polri. Ketika rezim Orde Baru sudah kembali, maka TNI/Polri pun kembali akan dimanjakan seperti di era Orde Baru.
Jika Soeharto adalah “the smiling general”, maka Jokowi adalah “the smiling president” (presiden murah senyum).
Soeharto dan Jokowi adalah tipikal pemimpin Jawa yang pandai menyembunyikan kejahatan di balik manis senyumnya. Itulah!