Jakarta, Fusilatnews.– Kasus pemerkosaan terhadap RO (16) di Parigi Moutong, Sulawesi Tengah, terungkap setelah korban dan ibunya melapor ke aparat kepolisian pada Januari 2023. RO diduga menjadi korban pemerkosaan 11 pria dalam kurun April 2022 hingga Januari 2023. Pelaku terdiri atas guru sekola dasar, kepala desa, petani, wiraswasta, pengangguran, hingga seorang anggota Brimob.
Namun, Kapolda Sulteng Irjen Agus Nugroho mengungkap, kasus ini disebut sebagai persetubuhan anak di bawah umur, bukan pemerkosaan. Alasannya, tindakan para tersangka tidak dilakukan secara paksa melainkan ada bujuk rayuan dan iming-iming, bahkan dijanjikan menikah.
Diminta komentar soal itu, Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) Poengky Indarti mengaku telah berkomunikasi dengan Polda Sulteng dan pihak Perlindungan Perempuan dan Anak Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri terkait penanganan kasus ini. Katanya, pasal yang digunakan penyidik untuk menjerat pelaku adalah Pasal 81 ayat (2) UU Perlindungan Anak yang dijunctokan dengan Pasal 65 KUHP untuk perulangan kejahatan yang dilakukan pelaku.
“Jadi kalau melihat pasal-pasal yang disangkakan disertai pasal perulangan kejahatan, maka ancaman hukumannya maksimal 15 tahun penjara ditambah 1/3 karena para tersangka adalah orang-orang yang seharusnya wajib menjaga anak-anak, yaitu 5 tahun, sehingga total ancaman hukuman 20 tahun penjara,” kata Poengky Indarti di Jakarta, Jumat (2/5/2023).
Apalagi, kata Poengky, jika ada kerusakan fungsi reproduksi, maka ancaman hukumannya bisa lebih berat. “Selain itu ada ancaman denda Rp5 miliar rupiah. Penyebutan persetubuhan merujuk pada pasal yang dikenakan, berdasarkan keterangan korban, saksi-saksi, dan bukti-bukti di lapangan. Tetapi kami berharap agar ditelusuri lebih dalam, mengingat korban masih anak-anak dan relasi dengan orang dewasa kemungkinan besar ada faktor ketakutan si korban, dan hal ini merupakan bentuk kekerasan,” jelasnya.
Poengky juga mendorong penggunaan pasal-pasal dari Undang-Undang (UU) No 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) untuk melengkapi penggunaan UU Perlindungan Anak dan KUHP, karena pihaknya melihat ada kekerasan seksual dalam kasus ini, sehingga agar ada jaring bagi para pelaku untuk dihukum seberat-beratnya serta ada perlindungan kepada korban diperlukan pasal-pasal berlapis untuk menjerat mereka.
“Kalau pakai pasal perkosaan untuk anak yaitu Pasal 287 KUHP, ancaman hukumannya 9 tahun. Lebih sedikit dari pasal yang digunakan penyidik. Kan itu tindakan berulang, sehingga hukumannya harus diambil yang maksimum yaitu 15 tahun, plus pemberatan 5 tahun,” tegasnya.
Poengky juga sudah meminta PPA Bareskrim Polri dan Polda Sulteng untuk terus melakukan supervisi kepada para penyidik Polres Parigi Moutong, tetapi ternyata Polda Sulteng sudah sigap mengambil alih penyidikan kasus tersebut. (F-2)
























