KEBENCIAN NISHOMUDIN
Oleh: Radhar Tribaskoro
Sekarang banyak orang menuduh orang lain, bahkan melaporkannya ke polisi, dengan alasan ujaran kebencian. Apa itu kebencian? Sayang, tidak banyak orang mendiskusikannya. Pemerintah pun tidak menjelaskan. Polisi justru menambah kebingungan, karena kerap memproses ujaran “tidak sesuai fakta” sebagai kasus hate speech.
Ujaran “tidak sesuai fakta” belum tentu kebohongan, apalagi kebencian. Ujaran adalah sebuah opini, tidak layak opini diadili di negara demokrasi. Kecuali opini itu mengandung kebencian.
Opini yang mengandung kebencian adalah opini yang diisi oleh prasangka. Misalnya dulu orang Belanda anggap kita sebagai orang pribumi. Kepada setiap pribumi, orang Belanda punya prasangka bahwa mereka malas, bodoh dan berkecenderungan kriminal. Dulu, orang Afrika di Amerika juga dianggap seperti itu. Sampai kini perasaan “direndahkan” masih kuat melekat pada diri orang Afrika Amerika. Menganggap seseorang itu rendah dan jahat bukan karena perbuatannya melainkan karena asal-usulnya disebut prasangka. Prasangka bisa muncul karena alasan suku, agama, ras dan golongan.
Salah satu contoh ujaran kebencian itu, baru-baru ini viral, adalah kasus yang melibatkan Ahmad Ishomudin. Ia menyerukan agar JNE, sebuah perusahaan pengantaran, diboikot. Alasannya, JNE menerima ucapan selamat ulang tahun ke-30 dari Haikal Hasan, seorang pengikut Habib Rizik Shihab.
Tidak ada perbuatan JNE yang salah, tidak ada perbuatan Haikal Hasan yang salah. Sebaliknya, saling memberi salam dan mendoakan adalah adab yang baik, adab yang sangat dianjurkan oleh agama Islam.
Kesalahan yang dilihat oleh Nishomudin adalah karena yang mengucap selamat itu adalah Haikal Hasan. Namun ia tidak melampiaskan kemarahannya kepada musuh politiknya itu. Ia justru menghukum JNE, yang tidak tahu apa-apa, yang tidak terlibat politik apapun, dengan menyerukan kepada pengikutnya agar tidak lagi menggunakan jasa JNE.
Menurut hemat saya seruan Ishomudin, tidak bisa tidak, dilandasi oleh kebencian terhadap sosok Haikal Hasan, ras atau pandangan politik yang diwakilinya. Di negara demokrasi sebuah pandangan politik tidak boleh dilarang. Pandangan politik itu dibikin untuk diikuti dan untuk dibantah. Kalau anda tidak setuju dengan politik tertentu, bantahlah. Tidak perlu melarangnya.
Prasangka terbentuk oleh proses pembelajaran. Percakapan daring dan luring adalah bagian dari pembelajaran itu. Maka sangat penting bagi siapapun untuk tidak memperkuat prasangka.
Muhammad Natsir dulu pernah berjuang bersama Bung Karno, tetapi ia juga pernah menghuni penjara Bung Karno. Walau begitu ia tidak pernah mengucap keburukan Bung Karno. Ridwan Saidi pernah mengungkapkan keheranannya. Tidak serta merta, Natsir menjawab, “Saidi, berpolitik itu jangan membawa kebencian.”
Buya Hamka pun demikian. Penjara tanpa pengadilan yang dialaminya tidak berbekas bila berkaitan dengan masalah kemanusiaan. Ia menerima panggilan Bung Karno dan bershalat atas jenasahnya.