Oleh: Optic Macca
Jika Gibran menjadi Presiden, apakah ruang–ruang publik kita — grup WhatsApp, timeline Twitter, kolom komentar, dan feed media sosial di seluruh kota besar — akan meledak oleh protes, hujatan, dan kebencian? Pertanyaan ini bukan sekadar imajinasi: ia melahirkan kekhawatiran serius tentang sebab-akibat antara pilihan kepemimpinan dan nasib bangsa.
Kegaduhan semacam itu bukanlah kesalahan “bangsa” pada hakikatnya. Ia adalah produk dari sistem hukum dan cara penegakannya — yakni aturan dan perilaku (rule and behavior) — yang membuat publik merasa terpaksa tunduk, menerima, dan akhirnya marah. Dimulai dari naiknya Gibran menjadi Wakil Presiden, lalu mengambil alih kursi RI-1, muncul rantai konsekuensi yang memicu erosi kepercayaan terhadap institusi.
Tanda–tanda keretakan itu sudah nyata: sumpah serapah, hinaan kepada Jokowi dan keluarganya, kebencian yang tersebar di percakapan publik dan postingan setiap hari. Bukan hanya kebisingan verbal; aktor kolektif mengekspresikan kemarahan melalui aksi, litigasi, dan diskusi publik yang menyorot figur-figur penguasa serta aparatur negara — termasuk juga atribut simbolik seperti seragam coklat yang ikut menjadi sasaran kritik. Semua itu bukan insiden tunggal, melainkan akumulasi kekecewaan.
Bukankah ini menunjukkan kegagalan fungsi: hukum yang timpang, kepemimpinan kontemporer yang kehilangan legitimasi, dan praktik transparansi yang tampak setengah hati—atau bahkan tidak adil sama sekali? Ketika sistem hukum tidak lagi dipercaya, publik mencari jalan lain: protes, gugatan, atau destruksi sosial-politik yang berbahaya.
Masyarakat memang harus diuji: apakah ketika Gibran duduk di kursi RI-1 publik akan bergerak secara terorganisir, membangun perlawanan yang beradab, atau memilih sabar dan menunggu perubahan dari dalam? Namun berhati-hatilah — ketidaksabaran yang berujung pada ledakan sosial-politik tak boleh diremehkan. Sebaliknya, jika perubahan datang dari kesadaran kolektif, bangsa ini bisa melahirkan variabilitas baru dalam politik, ekonomi, hukum, dan budaya — harapan untuk pemulihan yang berkelanjutan.
Kita harus berhenti menyalahkan sekadar figur dan mulai menuntut: perbaikan hukum yang konsisten, penegakan yang adil, dan etika kepemimpinan yang mengangkat kepentingan publik di atas kepentingan pribadi. Karena kegagalan bukan hanya soal siapa yang duduk di istana; kegagalan ada pada sistem yang membiarkan praktik-praktik buruk menjadi norma.
Ayok, Fufu Fafa — bangkit demi Indonesia yang lebih baik. Jika tak lagi bisa ditolak atau dihambat, maka jadikanlah kepemimpinan itu ujian: ujian bagi hukum, bagi elite, dan bagi kita semua. Jika tidak diperbaiki, kekacauan yang dimulai dari kursi presiden bukan hanya akan merusak nama; ia akan merusak masa depan bangsa.