Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Marbot Musala
Jakarta – Jika ada orang suka makan dan setelah kenyang tetap mau makan lagi dan lagi, bahkan sampai mengambil jatah makanan orang lain, itu kemaruk, serakah atau tamak namanya.
Jika ada orang kaya-raya tapi tetap tak puas menumpuk harta lagi dan lagi, bahkan sampai mengambil harta orang lain, itu juga kemaruk, serakah atau tamak namanya.
Analog, jika ada seseorang yang sudah menunaikan ibadah haji tapi mau menunaikan ibadah haji lagi dan lagi, bahkan dengan mengambil hak berhaji orang lain, apakah itu bisa disebut tamak?
Jika bisa, lantas, ketamakan semacam apa namanya? Ada yang menyebutnya ketamakan spiritual. Ya, ketamakan spiritual.
Bagi yang sudah berhaji tapi ingin berhaji lagi dan lagi, galibnya motifnya tidak lagi soal melaksanakan rukun Islam ke lima, karena kewajiban berhaji bagi Muslim yang mampu adalah sekali seumur hidup, tapi ingin mendapatkan pengalaman batin bahkan kepuasan spiritual yang tiada duanya kecuali di Makkah-Madinah, dua kota suci umat Islam.
Demi kepuasan spiritual itu, mereka rela melakukan apa saja, temasuk misalnya menggunakan visa non-haji atau bahkan visa haji palsu supaya bisa berhaji.
Diberitakan, dalam sepekan terakhir ini setidaknya ada 61 warga negara Indonesia (WNI) ditangkap di Arab Saudi. Penyebabnya, mereka memalsukan visa haji.
Rinciannya, Sabtu (1/6/2024), 37 WNI ditangkap aparat setempat di Madinah karena visa non-haji.
Empat hari sebelumnya atau tepatnya Selasa (28/5/2024), sebanyak 24 WNI diamankan aparat keamanan di Miqat Masjid Bir Ali, Madinah.
Puluhan WNI itu dilarang masuk Makkah karena menggunakan visa ziarah untuk berhaji.
Mayoritas dari 61 WNI yang ditangkap di Arab Saudi itu berasal dari Sulawesi Selatan.
Tidak itu saja. Saat ini ada sekitar 100 ribu WNI yang sedang menjalankan ibadah umrah dan tak kunjung pulang-pulang juga ke Tanah Air karena diduga ingin sekaligus melaksanakan ibadah haji yang puncaknya adalah wukuf di Arafah.
Pemerintah Arab Saudi memberi tenggat waktu bagi jemaah umrah dari seluruh dunia untuk meninggalkan negara itu paling lambat hari Kamis (6/6/2024) ini.
Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Ibadah Haji dan Umrah, terdapat dua jenis visa haji yang legal, yaitu visa haji kuota Indonesia (kuota haji reguler dan haji khusus) dan visa haji Mujamalah (undangan Pemerintah Kerajaan Arab Saudi).
Tahun 2024 ini, kuota haji Indonesia sebanyak 221.000 jemaah. Indonesia juga mendapat 20.000 tambahan kuota, sehingga total kuota haji Indonesia pada operasional 1445 H/2024 M ini adalah 241.000 jemaah.
Mengapa banyak Muslim WNI berhaji? Tentu saja untuk melaksanakan rukun Islam ke lima. Sebab itu, bagi Muslim yang merasa mampu, mereka akan pergi berhaji. Haji memang diwajibkan bagi Muslim yang mampu. Mampu secara mental, fisik dan materi.
Mengapa mereka yang hendak berhaji rela melakukan apa saja, termasuk menggunakan visa palsu, gelang palsu dan identitas palsu?
Bagi yang belum pernah berhaji, mungkin mereka frustrasi menunggu antrean. Sulawesi Selatan, misalnya, daftar tunggu atau “waiting list” haji mencapai 47 tahun.
Mereka dahaga secara spiritual untuk berhaji yang penuh dengan ritual sakral. Mereka mau meraih pengalaman spiritual yang mungkin hanya sekali seumur hidup. Sebab itu maklum bila mayoritas dari 61 WNI yang ditangkap di Arab Saudi itu berasal dari Sulsel.
Namun bagi yang pernah berhaji dan ingin berhaji lagi, barangkali mereka bukan hanya dahaga spiritual melainkan juga tamak spiritual. Kepergian mereka berhaji mengambil hak kuota orang lain yang belum berhaji.
Berbeda dengan tamak makanan yang ada batasnya, yakni daya tampung perut, ketamakan spiritual ini tidak ada batasnya sebagaimana ketamakan harta.
Harta ibarat air laut, makin banyak diteguk makin membuat haus. Karena haus, maka seseorang yang kaya ingin lebih kaya lagi dan lagi. Segala cara pun dihalalkan, termasuk korupsi.
Berhaji pun demikian. Makin banyak melakukan ritual rukun haji, maka kian mendapatkan pengalaman spiritual, dan pengalaman spiritual itu tak ada batasnya.
Tak Berpahala
Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Bidang Tabligh, Dakwah Komunitas, Kepesantrenan dan Pembinaan Haji-Umrah M Saad Ibrahim berpendapat, para WNI yang memalsukan visa haji, atau berhaji tapi menggunakan visa non-haji seperti visa umrah atau visa ziarah, syarat dan rukun hajinya tetap sah, tapi tidak mendapat pahala. Bahkan bisa berdosa karena merugikan jemaah haji lainnya dengan mengurangi hak kuota mereka.
Mengapa merugikan? Karena kuota haji sudah dibatasi dan pelayanan haji pun disesuaikan dengan kuota.
Jika ada jemaah haji non-kuota, berarti mereka setidaknya menyita ruang untuk sai, thawaf, wukuf dan sebagainya yang mestinya menjadi jatah jemaah haji berkuota.
Sebab itu, Menteri Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pernah mewacanakan larangan berhaji lebih dari sekali untuk mengurangi masa tunggu haji di Indonesia. Mereka yang mau berhaji lebih dari sekali disarankan umrah saja. Namun wacana pembatasan haji cukup sekali seumur hidup ini hilang terbawa angin lalu.
Pasalnya, umrah berbeda dengan haji. Kalau haji ada wukuf di Arafah, umrah tidak. Wukuf konon merupakan puncak kepasrahan seorang hamba kepada Allah Sang Maha Pencipta.
Apalagi setelah umrah tidak dapat gelar haji atau hajjah, berbeda dengan berhaji. Itulah!