Menurut Reza, adanya upaya ini kepercayaan masyarakat dan kehormatan institusi Polri menjadi taruhannya.
Bandung – Fusilatnews – Karena Saat kejadian pembunuhan, tidak bersama Ekky dan tidak mengetahui pembunuhan tersebut.
Liga Akbar Saksi kunci pembunuhan Vina dan Ekky di Cirebon tahun 2016, mencabut keterangan pada berita acara pemeriksaan (BAP) tahun 2016 silam dari penyidik Polda Jawa Barat.
Bana, kuasa hukum Liga Akbar mengatakan, keterangan kliennya yang tertuang di BAP tahun 2016 silam telah dicabut saat menjalani pemeriksaan di Polda Jabar.
Ia sempat kaget dan bingung dengan sikap yang dipilih Liga Akbar untuk mencabut BAP tersebut.
“Liga pernah diperiksa, saat itu dia menyampaikan sedang bersama Vina dan Ekky. Mas Liga berbelok ke kanan ke gang MAN 2 dan Mas Ekky lurus.
Dalam pemeriksaan mencabut keterangannya karena dia sampaikan sebenarnya peristiwa tidak seperti itu,” ucap dia saat dihubungi, Rabu (5/6/2024).
Ia menyebutkan bahwa tidak pernah bersama Ekky saat peristiwa pembunuhan tersebut terjadi. Namun, Liga berada di SMA 4 Cirebon.
Bana mengatakan, kliennya mengakui jika sebelum peristiwa terjadi pada sore hari bersama Ekky atau pada tanggal 27 Agustus 2016 silam.
Mereka berdua nongkrong bersama beberapa orang teman lainnya di warung yang berada di SMA 4 Cirebon.
“Setengah 5 masih nongkrong, lalu Ekky izin mau jemput Vina. Mereka balik lagi ke tongkrongan dan tidak lama Ekky dan Vina pamit ada rapat XTC di Kuningan dengan titik kumpul di satu tempat,” ungkap dia.
Setelah itu, ia mengatakan, Liga tidak mengetahui apa yang dilakukan dan yang terjadi kepada Ekky.
Bana mengatakan, Liga saat itu masih nongkrong dan mendapatkan kabar bahwa Ekky meninggal dunia.
“Jam 12 malam mendapatkan kabar Ekky meninggal melalui BBM temannya yang ikut nongkrong. Vina gunakan (jaket XTC) dan Ekky pakai motor Xeon itu benar,” kata dia.
Saat menjalani pemeriksaan tahun 2016, ia mengatakan Liga merasa kebingunan untuk memberikan pernyataan. Termasuk tidak paham dengan kondisi saat itu yang terjadi.
Liga Akbar, saksi kunci dalam kasus pembunuhan Vina dan Ekky di Cirebon pada 2016 silam mengajukan perlindungan kepada Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK). Ia pun meminta perlindungan kepada Komnas HAM.
Menurut Reza, adanya upaya ini kepercayaan masyarakat dan kehormatan institusi Polri menjadi taruhannya.
Para terpidana kasus pembunuhan Vina dan Muhammad Rizky atau Eky di Cirebon pada 2016 silam, hingga kini masih mendekam di penjara. Mereka dijatuhi vonis seumur hidup oleh hakim Pengadilan Negeri Cirebon sejak 2017 silam.
Sebagai terpidana kasus Vina. Mereka adalah Supriyanto, Sudirman, Jaya, Hadi Saputra, Eka Sandi, Eko Ramadhani, Rivaldi dan Saka Tatal. Dari delapan orang itu, tujuh di antaranya masih mendekam di penjara karena dijatuhi hukuman seumur hidup.
Sedangkan satu orang lainnya, yakni Saka Tatal, divonis delapan tahun. Saka telah bebas pada April 2020 karena memperoleh remisi, usai menjalani hukuman selama tiga tahun delapan bulan.
Sejak vonis seumur hidup dijatuhkan, ketujuh terpidana itu mendekam di Lapas Kesambi Kota Cirebon. Namun saat kasus pembunuhan Vina dan Eky kembali viral seiring tayangnya film ‘Vina: Sebelum 7 Hari’, mereka dipindahkan ke lapas di Bandung, guna kepentingan penyelidikan kembali kasus itu.
Salah seorang mantan narapidana di Lapas Kesambi, Budi Permadi, mengaku dekat dengan para narapidana kasus Vina saat dirinya masih mendekam di Lapas Kesambi. Dia pun mendapat curhatan dari para terpidana kasus Vina karena posisinya sebagai tamping masjid di Lapas Kesambi.
‘’Saya adalah bagian salah satu napi yang mendengarkan curhatan dari (para narapidana) kasus Vina. Sudirman dan kawan-kawannya pernah bercerita kepada saya, karena saya sebagai tamping masjid di Lapas Kesambi. Setelah acara kultum, anak-anak napi itu pada cerita ke saya,’’ ujar Budi, saat ditemui di Cirebon, Selasa (4/6/2024) malam.
Budi mengungkapkan, dalam curhatannya, para narapidana kasus Vina mengakui mereka sebenarnya tidak melakukan pembunuhan terhadap Vina dan Eky. Namun mereka terpaksa mengaku karena saat menjalani pemeriksaan di kepolisian, mereka mendapat tindakan kekerasan dari polisi.
‘’Itu pengakuan mereka. Jadi tidak bisa mengatakan tidak. Mereka diarahkan untuk mengakui ‘iya’,’’ ungkap mantan narapidana kasus tipikor yang mendekam di Lapas Kesambi pada 2014 – 2019 tersebut.
Budi pun sudah menanyakan kenapa mereka tidak mengungkapkan hal itu di pengadilan. ‘’Saya tanya, kenapa Man (Sudirman) tidak ngomong di waktu persidangan? (Sudirman menjawab) Kalau saya ngomong waktu persidangan, nanti saya pulangnya pasti ‘digulung’ lagi,’’ kata Budi.
Budi menduga, para terpidana itu menjadi korban salah tangkap. Dugaan itu didasarkannya pada curhatan mereka. Namun, selama ini mereka tidak memiliki keberanian untuk mengungkapkannya.
Budi menyatakan, nampak sekali kemurungan di wajah para terpidana kasus Vina. Mereka pun menyesal kenapa harus ditangkap padahal mereka tidak melakukan perbuatan itu.
‘’Mereka orang polos, bukan tampang kriminal. Mereka pasrah dan menganggap hal itu sebagai nasib. Tapi mereka tetap berharap agar kebenaran yang sesungguhnya bisa terungkap,’’ kata Budi.
Pakar psikologi forensik Reza Indragiri Amriel menyebut Polri perlu melakukan eksaminasi atas pengungkapan kasus pembunuhan Vina dan Ekky di Cirebon, sebagai bentuk sikap profesional.
“Konkretnya, ketimbang menunggu PK dari para terpidana, mengapa tidak Polri sendiri yang mengambil langkah eksaminasi hingga ke titik paling hulu proses pengungkapan kasus Cirebon?” kata Reza.
Dalam kasus Vina Cirebon ini, akan ada serentetan upaya peninjauan kembali (PK) dari para terpidana. Jika putusan PK membebaskan para terpidana, akan menjadi pukulan hebat bagi otoritas penegakan hukum terutama kepolisian.
Menurut Reza, adanya upaya ini kepercayaan masyarakat dan kehormatan institusi Polri menjadi taruhannya.
Dari kemungkinan itu, kata dia, Polri dapat menyelamatkan harga diri institusi dengan menempuh eksaminasi.
“Langkah eksaminasi itu bertitik tolak dari sikap profesional Polri sendiri. Toh, selama ini Polri mengaku mereka melakukan pengungkapan kasus dengan selalu menerapkan metode saintifik,” ujarnya.
Berangkat dari sikap tersebut, , Polri hendaknya menyadari bahwa kinerja Polda Jawa Barat pada saat mengusut kasus Vina di tahun 2016 tidak dilakukan dengan pendekatan saintifik yang memadai.
Dia menjelaskan, dengan eksaminasi ke titik hulu, yang mengevaluasi bobot saintifik dalam kerja Polda Jabar, membuka peluang bagi Polri untuk menemukan novum (alat bukti) bagi kepentingan PK.
Pilihan ini, kata dia, memang terkesan aneh secara sepintas. Bahwa PK memanfaatkan alat bukti baru yang justru Polri temukan sendiri.
“Memang muncul paradoks bahwa lewat eksaminasi saintifik, Polri justru membuka peluang bagi bebasnya para terpidana yang notabene dulunya dijebloskan ke dalam penjara oleh Polri,” ujarnya.
Tapi, lanjut dia, sikap aneh dan paradoks itu justru menjadi sikap yang luhur.
Yakni, betapapun kasus Cirebon sudah ada kepastian hukum, namun Polri tetap berfikir terbuka untuk mengevaluasi kerja mereka dalam rangka meraih tujuan hukum yang lebih tinggi, yaitu keadilan.