Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).

Jakarta, Fusilatnews – Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Ketika Bambang Soesatyo yang Ketua MPR (dari unsur DPR) saja mangkir dari panggilan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD), bagaimana dengan anggota MPR (dari unsur DPR) lainnya?
Ibaratnya, ketika Bamsoet, panggilan akrabnya, kencing sambil berdiri, maka para anggota DPR lainnya akan kencing sambil berlari. Ketika Bamsoet mangkir dari panggilan MKD, maka para anggota DPR lainnya pun akan mangkir juga jika dipanggil MKD. Mereka punya legitimasi moral.
Diketahui, Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) terdiri atas Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Bamsoet adalah anggota DPR, sehingga Wakil Ketua Umum Partai Golkar itu merupakan Pimpinan MPR yang berasal dari unsur DPR.
Dengan demikian, MKD DPR pun berwenang memeriksa Bamsoet yang diadukan ke MKD.
Bamsoet diadukan ke MKD karena mengklaim semua partai politik setuju melaksanakan amandemen UUD 1945. Bamsoet diadukan oleh Azhari, Mahasiswa Islam Jakarta. Pengaduan itu diterima Wakil Ketua MKD Nazaruddin Dek Gam di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (6/6/2024) lalu.
Azhari menilai Bamsoet sebagai Ketua MPR diduga melanggar kode etik karena menyampaikan klaim tersebut. Menurutnya, Bamsoet menyampaikan pernyataan yang tidak sesuai kapasitasnya, karena faktanya belum ada kesepakatan dari semua parpol di DPR untuk melakukan amandemen UUD 1945.
Politikus berlatar pengusaha itu pun dipanggil MKD untuk diklarifikasi, Kamis (20/6/2024) kemarin. Namun, Bamsoet mangkir. Dalihnya, undangan dia terima mendadak, yakni baru Rabu (19/6/2024) sore. Padahal, semestinya seminggu sebelumnya. Sementara dia banyak agenda yang sudah terjadwal sebelumnya.
MKD pun akan melayangkan panggilan ulang ke Bamsoet. Sampai tiga kali. Jika tetap mangkir, maka MKD akan menentukan sikap selanjutnya.
Ada pula anggota MKD yang mengusulkan Bamsoet dipanggil paksa dengan melibatkan petugas Pamdal (Pengamanan Dalam) DPR, karena dianggap merendahkan marwah atau bahkan “contempt of court” (melecehkan Mahkamah).
Apalagi, Setya Novanto saat menjabat Ketua DPR, sekaligus Ketua Umum Partai Golkar, hadir saat dipanggil MKD. Begitu pun Menteri Koordinator Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan.
Masinton Pasaribu, anggota DPR yang semula duduk di Komisi III namun kini pindah ke Komisi XI mencoba tampil sebagai “pahlawan kesiangan”. Politikus PDI Perjuangan itu mencoba membela Bamsoet yang tidak menghadiri panggilan MKD.
Masinton berdalih, MKD tak berwenang memeriksa Bamsoet karena pelontaran wacana amandemen UUD 1945 itu bagian dari tugas Ketua MPR sebagai juru bicara lembaga.
Masinton dalam rilisnya kepada media, Kamis (20/6/2024), merujuk ketentuan Pasal 81 UU No 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPRD dan DPD (MD3), di mana kewenangan MKD dibatasi hanya menyangkut kewajiban pelaksanaan tugas sebagai anggota DPR.
Agaknya Masinton yang gagal terpilih pada Pemilu 2024 lalu itu alpa bahwa dalam diri Bamsoet menempel jabatan anggota DPR, di samping ia juga seorang Ketua MPR. Artinya, MKD berwenang “mengadili” Bamsoet.
Lagi pula, kalau seorang Ketua MPR yang juga seorang anggota DPR tidak boleh diperiksa MKD, lalu lembaga apa yang berwenang “mengadili” Pimpinan MPR yang diduga melanggar kode etik?
Adapun wacana amandemen konstitusi sudah disuarakan Bamsoet sejak jauh-jauh hari. Tujuannya adalah memasukkan Pokok-pokok Haluan Negara (PPHN), sebagai pengganti Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berlaku di era Orde Baru, ke dalam UUD 1945.
Bamsoet dan Pimpinan MPR lainnya pun melakukan safari politik ke tokoh-tokoh nasional, termasuk Amien Rais.
Setelah bertemu bekas Ketua MPR itu, wacana amandemen konstitusi pun semakin ngegas dan berkembang. Semula sebatas memasukkan PPHN, berikutnya berkembang menjadi sekaligus mengubah pasal yang mengatur pemilihan presiden.
Amien Rais mengaku menyesal telah memimpin MPR mengamandemen UUD 1945 sehingga pilpres dilakukan secara langsung oleh rakyat. Pertimbangan mantan Ketua Umum Partai Amanat Nasional (PAN) tersebut waktu itu adalah kalau pilpres dilakukan secara langsung maka tidak akan terjadi “money politics’.
Ternyata, Amien Rais “kecele” (terkelabui). Politik uang ternyata justru marak dalam pilpres langsung. Dengan kembali melakukan amandemen UUD 1945, maka sistem pilpres pun akan dikembalikan seperti sebelum tahun 2004, yakni dipilih oleh MPR atau secara tidak langsung.
Nah, usai bertemu Amien Rais itulah Bamsoet mengklaim seluruh parpol Senayan telah sepakat untuk melaksanakan amandemen konstitusi. Namun, Partai Gerindra membantah. PDIP pun ikut membantah. Akibatnya, Bamsoet diadukan ke MKD.
Akankah Bamsoet mangkir lagi dari panggilan MKD?
Kita tidak tahu pasti. Yang jelas, jika Bamsoet kembali “kencing berdiri”, maka para anggota DPR lainnya pun akan “kencing berlari”. MKD pun tak akan bermarwah dan bergigi lagi alias ibarat macan ompong.