Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta, Fusilatnews.- Masih ingatkah kita akan kisah Kotak Pandora dalam mitologi Yunani? Jika tidak, cermatilah kasus penyitaan telepon seluler (ponsel) milik Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan Hasto Kristiyanto saat diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Senin (10/6/2024). Setelah itu, niscaya kita akan ingat kembali mitos Kotak Pandora.
Alkisah, seorang gadis cantik bernama Pandora, pada hari pernikahannya dengan Epimetheus mendapat hadiah dari para dewa berupa sebuah kotak yang indah, namun Pandora dilarang membukanya. Ketika dibuka karena rasa penasaran, ternyata keluarlah berbagai macam keburukan, mulai dari masa tua, rasa sakit, kegilaan, wabah penyakit, keserakahan, pencurian, dusta, kecemburuan, kelaparan, hingga berbagai malapetaka lainnya. Akhirnya yang tersisa hanya satu: harapan!
Niat dewa Zeus memberikan hadiah sebenarnya untuk memanfaatkan Pandora yang cantik dan menawan sebagai sarana untuk menghukum Prometheus, saudara Epimetheus, calon suami Pandora.
Prometheus adalah seorang Titan yang dikenal karena kecerdasan dan keahliannya, namun dia dua kali menipu, dan mencuri api Zeus lalu memberikannya kepada manusia.
Dus, kotak yang sangat indah itu pun menjadi semacam kutukan bagi Pandora. Akan tetapi, setelah semua keburukan keluar, ada yang tersisa di Kotak Pandora, yakni harapan.
Analog, ponsel Hasto Kristiyanto yang disita KPK pun ibarat Kotak Pandora yang juga akan menjadi semacam kutukan. Namun, bagi KPK akan memunculkan harapan.
Hasto diperiksa KPK sebagai saksi atas Harun Masiku, tersangka suap Wahyu Setiawan, Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) saat itu, yang sejak awal 2020 hingga kini menjadi buron.
Wahyu Setiawan disebut meminta “mahar” Rp900 juta untuk meloloskan Harun Masiku lewat mekanisme Pergantian Antar-Waktu (PAW). Wahyu juga diduga menerima Rp200 juta dan Rp400 juta dalam pecahan dolar Singapura dari Saeful Bahri dan Donny Tri Istiqomah, melalui orang kepercayaannya, Agustiani Tio. Ketiganya, plus Wahyu Setiawan, sudah dipenjara.
Nah, di sela-sela pemeriksaan itu, staf Hasto yang bernama Kusnadi diminta penyidik untuk naik ke ruang penyidikan. Begitu tiba, tiba-tiba ponsel dan tas tangan Hasto yang dibawa Kusnadi diambil paksa penyidik KPK.
Hasto pun merasa Kusnadi, staf setianya itu, dijebak penyidik KPK. Kusnadi kemudian melaporkan penyidik lembaga antirasuah itu ke Dewan Pengawas (Dewas) KPK. Sementara Hasto akan mengajukan gugatan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan terkait penyitaan paksa ponsel dan tas miliknya itu.
Ketua KPK Nawawi Pamolango berdalih, penyitaan ponsel Hasto Kristiyanto dilakukan untuk melacak jejak keberadaan Harun Masiku yang menyuap Wahyu Setiawan demi dilantik menjadi anggota DPR RI pengganti antar-waktu yang sedianya menggantikan Nazaruddin Kiemas dari PDIP di Daerah Pemilihan Sumatera Selatan I yang meninggal dunia.
Akan tetapi, dalih untuk melacak jejak Harun Masiku ini adalah satu hal. Hal lain, patut diduga adalah untuk mengetahui keterkaitan Hasto dengan kasus suap Harun, karena keduanya berkomunikasi intensif melalui staf Hasto bernama Saeful Bahri. Harun pun nyaris ditangkap KPK namun lolos, diduga ada yang melindungi, dan kini entah di mana dia bersembunyi.
Dus, ponsel Hasto pun akan menjelma Kotak Pandora yang setelah dibuka KPK, bisa jadi akan keluarlah berbagai macam keburukan. Termasuk kasus-kasus selain Harun Masiku.
Tidak hanya komunikasi intensif antara Hasto dan Harun, yang dijembatani Saeful Bahri, dan mendapat jawaban “ok” atau “sip” dari Hasto saat Saeful Bahri melaporkan penerimaan sejumlah uang, tetapi juga antara Hasto dan pihak-pihak lainnya.
Tidak itu saja. KPK juga bisa menelisik komunikasi Hasto dengan Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri terkait Harun Masiku. Jika ini terjadi, maka dunia persilatan politik Tanah Air akan terguncang. Bagaimana bisa seorang mantan Presiden, apalagi yang pada tahun 2003 lalu mendirikan KPK, berurusan dengan lembaga yang didirikannya itu?
Jika benar merembet sampai ke Megawati, maka kapasitas beliau diperiksa KPK tentunya sebagai Ketua Umum PDIP, bukan sebagai Presiden ke-5 RI. Apalagi hukum di Indonesia mengenal prinsip “equality before the law” (kesetaraan di muka hukum).
Diketahui, yang menandatangani surat permohonan PAW calon anggota DPR RI ke KPU lazimnya adalah ketua umum dan sekjen partai. Dalam hal Harun Masiku normatifnya adalah Megawati dan Hasto. Atau Megawati dengan salah satu wakil sekjen. Atau Hasto dengan salah satu Ketua DPP.
Ketika Harun yang perolehan suaranya di Pemilu 2019 berada di peringkat keenam, atau hanya lima ribu sekian, bagaimana bisa dia ditugaskan, mengutip ungkapan yang sering dilontarkan Megawati, menjadi pengganti caleg terpilih peringkat pertama yang meninggal dunia?
Mengapa bukan Riezky Aprilia yang jumlah perolehan suaranya tepat di bawah Nazaruddin atau peringkat kedua, yakni 44 ribu sekian?
Patut diduga ada sesuatu yang tak biasa ketika Harun Masiku yang diajukan. Sebab itu, mungkin KPK mau mendalami sesuatu yang tak biasa itu.
Alhasil, ponsel Hasto Kristiyanto pun akan benar-benar menjelma menjadi Kotak Pandora. Setelah semua keburukan keluar, yang tersisa adalah harapan. Dan harapan itu adalah ditangkapnya Harun Masiku.
Mengapa Hasto mendapat “hadiah” Kotak Pandora? Barangkali karena ia kerap mengkritik “Zeus”, dewa dari segala dewa yang ada di Istana.