*FusilatNews* – Di jantung Semenanjung Balkan, sebuah negara muda bernama Kosovo menyimpan sejarah panjang yang kerap luput dari peta geopolitik dunia Islam. Negeri berpenduduk mayoritas Muslim ini tak seperti Timur Tengah yang gersang dan penuh konflik sektarian, melainkan berselimut pegunungan hijau, pasar tradisional, dan sisa-sisa bangunan era Ottoman yang diam-diam merekam geliat Islamisasi sejak lebih dari enam abad silam.
Islam di Kosovo tidak datang dengan gebrakan pedang atau doktrin kebencian. Ia hadir sebagai bagian dari ekspansi Kekaisaran Ottoman, namun menyapa dalam rupa budaya, infrastruktur, dan sistem sosial. Proses Islamisasi berlangsung bertahap, tenang, dan dalam banyak kasus, merupakan keputusan sukarela masyarakat lokal—terutama etnis Albania—yang mencari peluang sosial dan ekonomi di bawah kekuasaan Istanbul.
Menyusuri Jalan Menuju Islam
Pada 28 Juni 1389, medan luas Kosovo Polje menjadi saksi pertempuran berdarah antara pasukan Serbia pimpinan Pangeran Lazar dan tentara Ottoman yang dikomandoi Sultan Murad I. Pertempuran itu, meskipun tidak secara mutlak dimenangkan oleh salah satu pihak, menjadi titik awal dominasi Ottoman di kawasan Balkan. Sultan Murad tewas di medan perang, namun putranya, Bayezid I, segera meneruskan misi penaklukan.
Sejak abad ke-15, Kosovo resmi menjadi bagian dari Kekaisaran Ottoman. Dinasti yang berkuasa dari Anatolia itu membawa serta struktur pemerintahan berbasis syariat, sistem millet, dan proyek besar urbanisasi ke wilayah-wilayah taklukan. Tak lama, masjid-masjid mulai berdiri di kota-kota besar seperti Prizren, Peja, dan Gjakova. Para sufi dari tarekat Bektashi dan Halveti memperkenalkan Islam dengan pendekatan spiritual yang lembut—lebih menyerupai dakwah ketimbang ekspansi militer.
Konversi massal tidak terjadi dalam satu dekade, melainkan lewat proses yang alami. Menjadi Muslim berarti terbebas dari pajak jizyah yang dibebankan kepada non-Muslim. Selain itu, pintu menuju karier birokrasi Ottoman terbuka lebar bagi mereka yang memeluk Islam. Tak sedikit tokoh-tokoh penting dalam Kesultanan—termasuk pasukan elit Janissari—yang berasal dari Balkan dan telah memeluk Islam.
Antara Kepercayaan dan Kebudayaan
Hingga akhir abad ke-19, Islam menjadi bagian tak terpisahkan dari identitas masyarakat Kosovo. Namun yang terbentuk bukanlah Islam fundamentalis atau eksklusif, melainkan versi yang bersatu dalam kehidupan keseharian, bercampur dengan tradisi lokal, dan terbuka terhadap pluralitas.
Masyarakat Albania Muslim, yang merupakan mayoritas penduduk Kosovo, mengenal Islam bukan sebagai kewajiban legalistik, melainkan sebagai bagian dari jati diri etnis. Masjid hadir bukan sekadar rumah ibadah, melainkan pusat komunitas: tempat bermusyawarah, belajar, dan berbagi.
Namun, babak baru muncul saat wilayah ini masuk ke dalam Republik Federal Sosialis Yugoslavia pasca Perang Dunia II. Di bawah rezim komunis Josip Broz Tito, agama direduksi menjadi urusan pribadi. Masjid-masjid ditutup, pendidikan agama dilarang, dan para pemuka agama diawasi ketat oleh aparat negara. Meski demikian, keyakinan tetap tersembunyi di balik tembok rumah, dalam bentuk ritual kecil dan nama-nama yang menyimpan makna spiritual.
Kosovo Hari Ini: Islam dalam Paradoks Modernitas
Pasca konflik Kosovo pada akhir 1990-an yang berujung pada intervensi NATO dan kemerdekaan de facto dari Serbia, negeri ini memasuki era baru: demokrasi, kapitalisme, dan globalisasi. Pada 2008, Kosovo mendeklarasikan kemerdekaan secara resmi. Sejak saat itu, negara ini menjadi salah satu negara paling pro-Barat di dunia Muslim. Bendera Kosovo berkibar di depan kantor-kantor PBB dan Uni Eropa, bahkan memuat simbol enam bintang untuk mewakili enam etnis yang tinggal di wilayahnya.
Namun, Islam di Kosovo tidak kembali dalam bentuk yang keras atau revivalis. Identitas keislaman tetap bertahan, tetapi dengan wajah yang lebih kultural dan simbolik. Kaum muda urban di Pristina lebih akrab dengan musik pop Turki daripada kajian fiqih klasik. Di sisi lain, bantuan dari Turki dan negara-negara Teluk untuk membangun masjid dan institusi pendidikan Islam menciptakan dinamika baru yang kadang menimbulkan perdebatan.
Kosovo hari ini adalah negara sekuler dengan konstitusi yang menjamin kebebasan beragama. Islam di sana bukan soal doktrin atau politik identitas, melainkan soal sejarah yang tertulis dalam batu-batu masjid tua dan aroma kopi hitam yang mengepul di pasar tradisional. Ia bukan agama yang menuntut ruang, melainkan yang diam-diam membentuk ruang.
Epilog: Balkan, Islam, dan Ketahanan Budaya
Kosovo menunjukkan bahwa Islam bisa tumbuh tanpa hiruk-pikuk. Bahwa identitas keislaman tak harus hadir dalam bentuk negara Islam atau hukum syariah. Di tengah Eropa yang makin konservatif terhadap imigran Muslim, Kosovo justru menjadi pengecualian yang menyejukkan: negara mayoritas Muslim yang cinta demokrasi, sekuler dalam konstitusi, tapi religius dalam akar budayanya.
Sejarahnya menjadi bukti bahwa Islam, ketika dibawa dengan hikmah dan keteladanan, bisa hidup berdampingan dengan tradisi lokal dan modernitas global. Sebuah pelajaran penting bukan hanya bagi Balkan, tapi juga bagi dunia Islam yang sedang mencari arah di tengah gelombang ekstremisme dan sekularisasi yang dangkal.