Sebagai seorang Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka tentu diharapkan menjadi representasi dari masyarakat Indonesia yang beragam, baik dalam pemikiran, perilaku, maupun penggunaan bahasa. Namun, insiden penggunaan kata “para-para” dalam sebuah pernyataan publik baru-baru ini menunjukkan celah besar dalam pemahaman dan sensitivitasnya terhadap bahasa Indonesia. Kritik ini bukan hanya soal kesalahan kecil dalam ucapan, tetapi refleksi dari kesiapan dan kompetensi seorang pemimpin dalam menjalankan tugas kenegaraan.
Makna dan Kekeliruan
Kata “para-para” dalam bahasa Indonesia memiliki makna yang spesifik dan kontekstual. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), “para-para” merujuk pada sebuah rak atau tempat penyimpanan yang biasanya terbuat dari kayu atau bambu. Kata ini memiliki sejarah dan nilai budaya tersendiri, terutama di daerah-daerah tertentu di Indonesia. Ketika Wapres Gibran menggunakan kata ini dalam konteks yang tidak tepat, hal tersebut menunjukkan kurangnya pemahaman mendalam terhadap kekayaan kosakata yang dimiliki bangsa ini.
Sebagai pemimpin, Gibran seharusnya memahami bahwa setiap kata yang diucapkannya akan dianalisis dan diinterpretasikan oleh berbagai pihak. Kesalahan semacam ini dapat mencerminkan ketidaksiapan, apalagi dalam posisi strategis seperti Wakil Presiden. Dalam dunia politik yang penuh dinamika, salah ucap sekecil apa pun dapat dimanfaatkan untuk mempertanyakan kredibilitas seseorang.
Dampak Kesalahan pada Kredibilitas Pemimpin
Ketika seorang pemimpin nasional, terutama Wakil Presiden, terlihat tidak mampu menggunakan bahasa dengan baik, hal ini memengaruhi persepsi masyarakat terhadap kapasitas intelektualnya. Kesalahan semacam ini menimbulkan pertanyaan: apakah Gibran benar-benar memahami kompleksitas peran dan tanggung jawabnya? Apakah ia cukup serius mempersiapkan diri untuk menjadi simbol kepemimpinan nasional?
Indonesia, sebagai negara dengan lebih dari 700 bahasa daerah dan keberagaman budaya, memerlukan pemimpin yang tidak hanya fasih dalam berbicara, tetapi juga mampu menghargai dan memahami makna di balik setiap kata. Kesalahan Gibran bisa saja dianggap sepele, namun dalam konteks yang lebih besar, ini menyoroti kurangnya perhatian terhadap detail, sesuatu yang sangat penting dalam dunia politik.
Pembelajaran untuk Pemimpin Masa Depan
Kesalahan ini seharusnya menjadi cermin bagi Gibran dan pemimpin lainnya untuk lebih menghargai bahasa sebagai alat komunikasi yang efektif dan berpengaruh. Seorang pemimpin tidak hanya harus fasih berbicara tetapi juga memahami substansi dari setiap kata yang mereka ucapkan. Pentingnya berkomunikasi dengan jelas dan tepat tidak boleh diremehkan, terutama ketika berhadapan dengan masyarakat yang kritis dan melek informasi.
Pelatihan bahasa dan komunikasi, memahami konteks budaya, serta belajar dari sejarah dan kearifan lokal harus menjadi prioritas bagi para pejabat publik. Indonesia membutuhkan pemimpin yang cerdas secara intelektual, emosional, dan budaya, bukan sekadar populer atau memiliki nama besar.
Kesimpulan
Kesalahan Wapres Gibran dalam menggunakan kata “para-para” mungkin terlihat kecil bagi sebagian orang, tetapi ini adalah pengingat penting bahwa seorang pemimpin harus memperhatikan setiap aspek, sekecil apa pun. Dalam era di mana rakyat semakin kritis, kesalahan bahasa bisa menjadi indikator kurangnya kesiapan atau keseriusan seorang pemimpin.
Kritik ini bukan untuk menjatuhkan, melainkan sebagai dorongan agar Gibran lebih serius dalam mempersiapkan dirinya sebagai pemimpin. Bahasa adalah salah satu kekuatan bangsa, dan pemimpin seperti Gibran harus menjadi contoh dalam menggunakannya dengan baik, benar, dan penuh penghormatan.