Fusilatnews – Di tengah gempuran hidup urban yang makin padat, stres menjadi tamu tetap yang kerap mengendap dalam tubuh tanpa disadari. Ia tak hanya menghuni benak dan membuat kepala pening, tapi juga menyelinap ke lapisan paling luar tubuh manusia: kulit. Di sinilah, kulit tak pernah berbohong. Ketika jiwa terguncang, kulit sering memberi sinyal paling pertama—jerawat mendadak muncul, eksim kambuh, psoriasis menyerang. Ilmu pengetahuan kini semakin terang membuktikan bahwa stres dan penyakit kulit bukan sekadar korelasi semu, melainkan relasi yang nyata, biologis, dan multidimensi.
Kulit: Organ Emosional yang Terlupakan
Kulit bukan sekadar selubung tubuh, ia adalah organ terbesar dan mungkin juga yang paling komunikatif. “Kulit adalah cermin dari pikiran,” ujar Prof. Dr. Gerd Plewig, dermatolog terkemuka asal Jerman, dalam bukunya ‘Life of the Skin’. Menurutnya, gangguan psikologis seperti stres, kecemasan, dan depresi dapat memicu atau memperburuk berbagai penyakit kulit.
Fenomena ini disebut dengan psychodermatology, bidang interdisipliner yang mempelajari hubungan antara pikiran dan kulit. Di Indonesia sendiri, pendekatan ini belum menjadi arus utama dalam praktik medis sehari-hari. Padahal, studi demi studi telah membuktikan korelasi eratnya.
Sains di Balik Gatal dan Luka
Dr. Gil Yosipovitch, profesor dermatologi dari University of Miami yang dijuluki “Dr. Itch” karena risetnya tentang rasa gatal, menjelaskan bahwa stres memicu aktivasi sistem saraf simpatis dan hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA axis), yang meningkatkan kadar kortisol dalam tubuh. “Kadar kortisol tinggi ini bisa melemahkan fungsi skin barrier, meningkatkan inflamasi, dan memperparah kondisi seperti psoriasis, dermatitis atopik, hingga jerawat,” terang Yosipovitch dalam Journal of Investigative Dermatology (2020).
Penelitian yang dilakukan oleh National Institutes of Health (NIH) di AS juga mengungkap bahwa pasien dengan eksim atau psoriasis memiliki tingkat kecemasan dan depresi dua kali lebih tinggi dibanding populasi umum. Ini menunjukkan hubungan dua arah—stres memperparah penyakit kulit, dan penyakit kulit memperburuk kondisi psikologis pasien.
Realitas Klinik di Indonesia
Di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta, dokter spesialis kulit dan kelamin, dr. Fitrah Sari, Sp.DV, mengaku tak jarang menjumpai pasien dengan keluhan kulit yang ternyata dipicu tekanan psikologis. “Banyak pasien eksim dan urtikaria yang mengeluh makin parah saat menghadapi masalah rumah tangga atau tekanan kerja,” ujarnya. Sayangnya, menurut Fitrah, pasien sering kali hanya fokus pada pengobatan luar (topikal), tanpa menyadari bahwa sumber masalah ada pada ketegangan dalam pikiran.
Di Indonesia, kesadaran tentang peran psikis dalam gangguan fisik masih rendah. “Pasien cenderung menginginkan perbaikan cepat dengan salep, bukan dengan menyentuh akarnya, yaitu kondisi emosional,” kata Fitrah.
Perlu Pendekatan Holistik
Menurut World Health Organization (WHO), kesehatan adalah kondisi utuh, meliputi fisik, mental, dan sosial. Namun, sistem pelayanan medis kita belum sepenuhnya mendukung pendekatan integratif. Di sinilah peran psychodermatology menjadi penting.
Profesor Tony Bewley dari King’s College London yang juga aktif mengadvokasi pendekatan integratif di bidang dermatologi, menekankan bahwa pengobatan kulit tak bisa dipisahkan dari kondisi mental. “Kita butuh kerja sama erat antara dermatolog, psikiater, dan psikolog,” ujarnya dalam wawancara bersama The Lancet Psychiatry (2019).
Tubuh dan Pikiran: Satu Simpul
Esai ini tak bertujuan menakuti, tetapi mengajak kita menyadari bahwa tubuh dan pikiran adalah satu simpul yang tak terpisah. Kulit, dengan segala perubahannya, adalah pesan dari dalam yang seharusnya didengar.
Ketika kita merasa tak sanggup berkata-kata, kulit sering kali bicara lebih dulu. Dan saat itu terjadi, mungkin sudah saatnya kita berhenti, bernapas, dan mulai menyentuh bukan hanya kulit, tapi jiwa yang terluka.