Anak angkat saya, orang Jepang, pernah ditanya. Penasaran saja, cita-citanya ingin menjadi apa. Dalam benak saya, ingin jadi Astronot atau Insinyur yang ahli membuat mobil listrik canggih, dll.. Jawabnya, mengejutkan. Ternyata tidak. Ia setelah lulus SMA tahun depan, ingin langsung daftar untuk menjadi Masinis Kereta Api.
Memang posisi masinis KA di Jepang, terhormat dan keren. Dari mulai seragam yang mereka kenakan, cara mereka bekerja, dan apresiasi masyarakat pada profesi tersebut, tinggi. Mereka dituntut untk bekerja dengan profesional yang tinggi. Presisi dan akurasi adalah hal yg teramat penting. Dalam hitungan kurang dari 2 menit, pada setiap keberangakatan dan kedatangan dalam setiap jadwal perjalanan, bisa mengakibat kecelakaan yang fatal.
Di Indonesia, Masinis yang sedang mengoperasikan Lokomotifnya, masih bisa melambaikan tangan kepada orang yang mengelu-elukannya dilintasan Kerata Api. Perisitwa ini, yang menjadi topik hangat pembicaraan dikomunitas pencinta KA dikedua negara. Karena di Jepang, hampir tidak mungkin hal tersebut terjadi.
Pada kesempatan lain, saya pernah diminta oleh seorang teman, untuk turut mengajar soal entrepreneurship. Seperti biasa, saya tanya siapa traineesnya. Kemudian diinformasikan, jumlah traineesnya, waktunya, dan mata kuliah pelatihannya. Yang menarik adalah, back ground dari pelatihan itu. Melatih para Masinis PJKA (sebelum menjadi PT KAI), menjelang mereka pensiun. Pembekalan untuk hidup mulai pensiun nanti.
Dikhawatirkan saat purna tugas nanti, para mantan Masinis tersebut, kaku dalam menghadapi masalah dihari tua. Mereka tidak bisa banyak berbuat, karena waktu hidupnya habis dalam ruang kendali lokomotif. Menjaga jangan sampai stress atau syndrome karena tak melihat peluang yg dapat dikerjakan. Lebih dari itu, otaknya tak dapat melihat peluang berusaha, karena akibat pekerjaaan sebagai masinis itu.
Di Jepang bagaimana?
Ini menarik untuk kita bahas. Di Negeri sakura itu, seseorang yang banyak maneuver berpindah-pindah profesi, lompat sana-lompat sini, tidak akan mendapat tempat di hati masyarakat Jepang. Apresiasi mereka justru kepada siapa saja dan setia bekerja dalam bidang apa saja. Makin lama seseorang berkerja dibidangnya makin dikagumi oleh lingkungan sosialnya. Kecintaan dan komitmen kepada pekerjaan itu sangat tinggi. Sebagai contoh banyak Chef yang usianya sudah diatas 80 tahunan, masih menekuni pekerjaannya.
Terbalik dengan situasi di Indonesia. Makin detail dana banyak pengalaman kerja diperusahaan yang berbeda, apalagi pada profesinya yang tidak sama, mejelaskan bahwa ia tahu segala macam. Berpengalaman banyak, lalu berbangga hati.
Apa yang berbeda dan terjadi kepada Masinis Indonesia dan Masinis Jepang adalah, bayangan kekhawatiran setelah pensiun, karena penerimaan yang akan berkurang. Sedangkan di Jepang, kehawatiran yang sama itu tidak ada. Pemerintah telah mencukupkan penerimaan pensiun, untuk bisa hidup layak sehari-hari. Standar penerimaan gaji dan pensiunan, ditetapkan oleh aturan negara.
Bantuan hari tuapun, juga diberikan oleh Pemerintah setempat/lokal, seperti ada insentif-insentif lainya. Umpamanya, bila sudah tua renta, hidup seorang diri, maka untuk membereskan bersih-bersih rumah, ada pelayan yang digaji oleh Pemerintah Daerah. Bahkan seorang Ibu yang sehat, tetapi harus mengurus anaknya yang cacat, ia mendapat tunjungan tiap bulanya, karena tidak bisa bekerja sampingan (arbaito).