Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212
Dengan mempertimbangkan gejala yang ada, serta fenomena geo dan sosio-politik yang sedang berkembang dan eksis, serta yang dirasakan bersama oleh bangsa ini, isu kecurangan dan pelanggaran dalam Pilpres 2024 bukan lagi merupakan suatu hal yang relevan yang harus ditumpahkan ke ranah publik. Ini menandakan bahwa bangsa ini, yang didasarkan pada prinsip bahwa hukum berada di atas segalanya (rule of law), tidak lagi menganggapnya sebagai sesuatu yang penting.
Sejauh yang dapat diingat, sudah berapa puluh janji politik yang dilanggar oleh Jokowi? Ditambah dengan sejumlah kegagalan dalam sektor pembangunan ekonomi, jika dilihat dari perspektif sederhana dalam teori fungsi kepemimpinan sebuah pemerintahan negara. Salah satu dari fungsi tersebut adalah menciptakan kesejahteraan sosial yang merata bagi seluruh anak bangsa, sebagaimana yang tertuang dalam pembukaan alinea ke IV UUD 1945. Namun, realitasnya menunjukkan bahwa Jokowi, yang diberi wewenang untuk mengelola seluruh kekayaan alam untuk kepentingan rakyat, tidak mampu membuktikan kemampuannya. Hal ini terlihat dari pencanangan Gerakan Nasional Wakaf Uang untuk infrastruktur, yang seharusnya menjadi alat untuk meningkatkan kesejahteraan sosial, namun tidak demikian adanya.
Referensi Berita :
Dan saat ini ” Negara Indonesia mengalami kelangkaan beras “
Referensi berita :
https://www.detik.com/bali/berita/d-7201746/jokowi-jelaskan-penyebab-harga-beras-naik-ugal-ugalan
Dalam konteks ini, hutang negara terus bertambah sementara janji-janji dari Jokowi, seperti “ekonomi meroket dimulai pada akhir tahun 2018”, ternyata tidak terwujud hingga bulan Februari 2024. Janji terbaru yang menyatakan bahwa “daerah miskin yang ekstrim akan berada di bawah 0% pada tahun 2024” juga belum terbukti. Sebaliknya, kesepakatan yang ada membuat orang kaya semakin kaya, menengah menjadi lemah, dan yang miskin semakin terpuruk, sementara lapangan pekerjaan semakin sulit didapat.
Meskipun Jokowi menjanjikan pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 7% selama masa kepemimpinannya, realitasnya menunjukkan kegagalan dalam mencapai target tersebut. Alih-alih berkonsentrasi pada pencapaian target ekonomi yang dijanjikan, Jokowi justru terus sibuk dengan urusan politik seperti mendukung Gibran dan Prabowo dalam kontes Pilpres 2024.
Referensi berita :
Kebijakan politik dan hukum dari Pemerintahan Jokowi menunjukkan manajemen yang tidak profesional dan proporsional (tidak kredibel), sehingga tidak objektif, tidak akuntabel, dan tidak berkeadilan. Ironisnya, sikap Jokowi justru melanggar prinsip-prinsip Good Governance, padahal seharusnya dia menjadi contoh utama sebagai pemimpin negara. Perilakunya yang tidak memperhatikan adab dan etika dalam berpolitik bertentangan dengan prinsip yang diatur dalam Tap. MPR. RI Nomor 6 Tahun 2001.
Sebagai presiden, Jokowi seharusnya menjadi pelopor dalam menegakkan prinsip-prinsip Good Governance dan keadilan dalam hukum. Namun, kenyataannya hukum di negara ini cenderung timpang ke kiri, sehingga kepastian hukum menjadi pudar.
Terbukti bahwa para pelaku korupsi tidak diproses secara hukum oleh aparat penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan RI. Sebaliknya, beberapa politisi yang terlibat dalam kasus korupsi, terutama yang memiliki kendali atas partai politik sebagai ketua partai, dirancang menjadi menteri dalam pemerintahan sebagai bagian dari “rencana jahat” untuk kepentingan politik dalam persaingan suksesi nasional. Mereka menjadi alat untuk memastikan kelangsungan kekuasaan, dengan tujuan memenangkan pasangan capres yang mereka dukung, seperti Prabowo – Gibran (Gibran Rakabumi Raka, putra dari Joko Widodo).
Selain itu, terdapat dugaan pola intervensi terhadap lembaga yudikatif melalui praktik nepotisme, khususnya dalam Mahkamah Konstitusi (MK), dengan memanfaatkan hubungan keluarga. Salah satunya adalah melalui adik ipar Jokowi, yaitu Anwar Usman, yang menjabat sebagai Ketua MK, dan dituduh terlibat dalam upaya mempengaruhi keputusan lembaga tersebut untuk kepentingan politik tertentu.
Menjatuhkan Jokowi dari jabatannya memang menjadi tantangan serius karena proses hukum yang rumit yang harus dilalui untuk meng-impeach seorang presiden dari kursi kekuasaan di Indonesia. Proses ini melibatkan DPR RI, Mahkamah Konstitusi (MK), dan akhirnya MPR RI sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Republik Indonesia tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah (UU MD3).
Pada hari Selasa, 21 Februari, di Hotel Sultan, mantan Mayor Jenderal Soenarko mengeluarkan pernyataan sarkastik yang menyoroti kesulitan dalam menyadarkan Jokowi untuk mundur dari jabatannya, meskipun telah sering dinasehati karena banyaknya pelanggaran konstitusi. Salah satu acuan yang disebutkan adalah TAP MPR RI Nomor 6 Tahun 2001 tentang Ketentuan Etika Kehidupan Berbangsa, serta ketidakmampuannya dalam menjalankan pemerintahan dengan benar, disertai dengan banyaknya penyimpangan yang inkonstitusional. Namun, Jokowi terlihat tidak peka terhadap hal ini.
Pendapat pengamat menekankan perlunya mempertimbangkan dengan matang formulasi hukum untuk menggulingkan Jokowi, yang harus melibatkan para tokoh bangsa dan ahli hukum dari berbagai disiplin ilmu pengetahuan. Proses ini juga mungkin memerlukan revisi atau bahkan penggantian sistem hukum yang dianggap tidak layak. Meskipun penggulingan Jokowi mungkin akan menimbulkan kerugian, namun kerugian yang lebih besar akan terjadi jika masalah ini tidak segera ditangani.
Kerugian tersebut tidak hanya terbatas pada aspek politik dan moralitas bangsa, tetapi juga meluas ke sektor hukum dan ekonomi. Keberlanjutan demokrasi, integritas politik, serta kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum dan perekonomian dapat terganggu jika Jokowi tidak ditumbangkan dan jika sistem hukum yang ada tidak diperbaiki. Dengan demikian, penting bagi para pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan secara seksama dampak dari berbagai pilihan yang tersedia demi kepentingan terbaik bagi bangsa ini.
Pola yang disebutkan melibatkan penekanan pada kekuatan konstitusi dengan mengacu pada kedaulatan yang berada di tangan rakyat, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945. Namun, pola ini seringkali dilakukan tanpa mempertimbangkan rujukan dari pasal-pasal lain dalam Konstitusi, serta dengan mengabaikan hierarki sistem hukum yang ada di bawahnya.
Secara nyata, Jokowi telah memegang kendali atas eksekutif dan menggunakan kekuasaannya untuk mengontrol para menteri dan ketua partai yang terlibat dalam kasus korupsi. Selain itu, dia juga memiliki pengaruh terhadap penyelenggara negara di lembaga legislatif dan yudikatif, seperti Mahkamah Konstitusi.
Praktik ini menunjukkan penggunaan kekuasaan yang berlebihan dan tidak seimbang, yang dapat mengganggu prinsip-prinsip demokrasi dan pemisahan kekuasaan yang seharusnya ada dalam sistem politik yang demokratis. Hal ini menimbulkan keprihatinan terhadap pengaruh yang berlebihan dari eksekutif terhadap lembaga-lembaga pemerintahan lainnya, yang seharusnya independen.
Pernyataan yang disampaikan oleh Mayor Jenderal (Purn) Soenarko di Hotel Sultan, pada tanggal 21 Februari 2024, serta disetujui oleh seluruh peserta yang hadir, dianggap sebagai pendapat dan kegiatan yang sah untuk disampaikan. Hal ini karena pernyataan tersebut sejalan dengan isi Pasal 2 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan sesuai dengan Undang-Undang Dasar.
Pernyataan tersebut juga sesuai dengan Teori Tujuan Negara Republik Indonesia yang tercantum dalam Pembukaan alinea ke-IV UUD 1945, yang menegaskan bahwa tujuan negara adalah untuk membentuk suatu pemerintahan yang melindungi seluruh bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut serta dalam menjaga ketertiban dunia berdasarkan prinsip kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pendapat dan keinginan ideal dari Mayor Jenderal pensiunan ini memang sejalan dengan Pasal 28 UUD 1945 tentang Kebebasan Hak Asasi Manusia. Oleh karena itu, memperhatikan serta mempertimbangkan gejala dan parameter dari eksistensi geo-sosio-politik, serta kondisi perkembangan diskursus politik yang telah terjadi yang dimulai dari tindakan sewenang-wenang atau kesukaan Jokowi, menjadi suatu keharusan. Dalam hal ini, para tokoh bangsa harus melakukan upaya politik hukum yang luar biasa, yaitu mengembalikan fungsi utama sebuah pemerintahan negara, yaitu untuk mensejahterakan rakyatnya.
Jika ternyata tujuan tersebut tidak tercapai, maka dibutuhkan tindakan pembangkangan terhadap seorang pemimpin yang memiliki karakteristik seperti Jokowi. Teori ini sejalan dengan prinsip bahwa faktor hukum tertinggi adalah melindungi kepentingan rakyat (salus populi suprema lex esto). Dengan demikian, tindakan untuk menggulingkan Jokowi dapat dianggap sebagai langkah yang sesuai dengan prinsip-prinsip hak asasi manusia dan kepentingan rakyat secara umum.
Perspektif hukum yang luar biasa ini, sebagaimana yang dinyatakan secara tegas oleh Mayor Jenderal (Purn) Soenarko, dapat diimplementasikan melalui langkah-langkah hukum dengan metode super ekstraordinari, yang sejalan dengan prinsip “civil disobedience” atau pembangkangan sipil terhadap hukum. Hal ini didasarkan pada banyaknya fakta hukum (data empiris) yang menunjukkan bahwa Jokowi, sebagai penguasa, tidak mematuhi hukum dan justru menggunakan hukum sebagai alat kekuasaan semata (machstaat).
Dalam konteks ini, rakyat membutuhkan satu tiket, satu langkah untuk melakukan perbaikan secara umum terhadap bangsa dan negara. Oleh karena itu, kedaulatan yang dimiliki oleh rakyat sesuai dengan sumber hukum seharusnya digunakan oleh seluruh rakyat Indonesia untuk mencabut amanah yang pernah mereka berikan kepada Jokowi sebagai Presiden RI. Langkah ini diambil semata-mata untuk mempertahankan kepentingan anak bangsa, integritas hukum, ideologi negara, serta kesatuan dan persatuan bangsa.
Setiap warga negara tidak akan keliru jika menuntut penggulingan seorang pemimpin yang jelas-jelas melanggar dan merusak ideologi negara ini, yaitu Pancasila sebagai sumber hukum nasional. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 2 UU RI No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, bahwa Pancasila merupakan sumber segala sumber hukum negara. Dengan demikian, langkah-langkah untuk menegakkan hukum dan menjaga integritas ideologi negara merupakan langkah yang sesuai dengan prinsip-prinsip hukum dan keadilan.
Hal pengebirian dengan pola obstruksi atau pembiaran terhadap perilaku makar terhadap Pancasila dan UUD 1945 ini terbukti telah dilakukan oleh Jokowi terhadap para inisiator dan pengesah RUU HIP (Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila). Jokowi secara sepihak memodifikasi Pancasila dengan mengganti susunan sila-sila Pancasila, seperti menggeser Pancasila menjadi Tri Sila, Eka Sila, dan merubahnya menjadi Gotong Royong. Para pelaku dari kalangan eksekutif (BPIP) dan anggota legislatif (DPR RI) yang terlibat dalam pengesahan RUU HIP dibiarkan tanpa proses hukum.
Secara hukum, hal ini menunjukkan bahwa Jokowi turut serta (delneming) dalam pembiaran terhadap perbuatan “makar” terhadap Pancasila. Jokowi juga membiarkan wacana dari beberapa menteri di kabinetnya yang mengusulkan agar Jokowi dapat menjabat sebagai presiden RI selama 3 periode, yang jelas-jelas melanggar Pasal 7 UUD 1945. Namun, Jokowi kembali melakukan pembiaran terhadap pelanggaran hukum yang dilakukan oleh beberapa menteri di kabinetnya.
Dengan semua pola kepemimpinan Jokowi yang mengesampingkan dan merendahkan makna Falsafah dan Ideologi Negara RI (Pancasila dan UUD 1945), serta menimbulkan cacat pada sistem hukum yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap Warga Negara Indonesia (WNI), sulit untuk menentukan rumusan sistem hukum mana yang dapat menghentikan perilaku yang tidak pantas atau abnormal dari seorang Jokowi.
Namun, dalam sebuah negara hukum yang baik, sistem hukum yang kuat dan berfungsi dengan baik harus mampu mengikat, adil, bermanfaat, dan memberikan kepastian hukum kepada semua warga negara. Namun, jika puluhan kali sistem hukum ini dilanggar dengan sengaja dan direncanakan oleh Jokowi, maka sudah seharusnya sebagai negara hukum dan sebagai rakyat yang berdaulat untuk mengambil tindakan. Suara rakyat, sesuai dengan prinsip “Vox Populi Vox Dei” (Suara Rakyat adalah Suara Tuhan), harus segera didengarkan. Sudah saatnya untuk menggulingkan Jokowi dan mengembalikan integritas hukum dan nilai-nilai Pancasila dan UUD 1945.