Fusilatnews – “Bubarkan DPR!”—tuntutan itu menggema di media sosial menjelang demonstrasi pada 25 Agustus 2025 di depan Gedung DPR/MPR RI. Aksi tersebut menjadi simbol frustrasi publik terhadap lembaga legislatif, yang dianggap lebih sibuk mengurus kepentingan elit daripada memperjuangkan rakyat. Seruan itu cepat menyebar, dipicu oleh isu tunjangan fantastis anggota dewan, termasuk tunjangan perumahan sekitar Rp50 juta per bulan. Bagi banyak orang, fasilitas ini semakin menegaskan jarak antara wakil rakyat dan rakyat yang diwakilinya.
Ribuan massa kemudian bergerak ke Senayan. Mereka datang dari beragam kelompok: BEM Universitas Indraprasta, BEM Nusantara, Generasi Milenial Indonesia, HMI, hingga SEMMI. Tuntutan mereka pun berlapis: dari pembubaran DPR/MPR, penghapusan gaji dan tunjangan dewan, pengesahan RUU Perampasan Aset, penolakan RKUHAP, hingga desakan agar kabinet Prabowo–Gibran lengser. Suasana di depan DPR sempat memanas. Lemparan benda dari massa berbalas semprotan water cannon dan gas air mata dari polisi. Aparat akhirnya membubarkan aksi dengan alasan tidak kondusif, terlebih saat banyak pelajar ikut bergabung dalam barisan.
Mengapa tuntutan “bubarkan DPR” bisa muncul? Pertama, karena akumulasi kekecewaan publik. DPR selama ini terjebak stigma: sarang korupsi, transaksional, dan jauh dari rakyat. Isu fasilitas mewah hanya mempertebal citra buruk itu. Kedua, karena minimnya transparansi proses legislasi. Publik jarang tahu bahwa DPR justru pusat lahirnya kebijakan besar: draf undang-undang dibentuk, dibahas, dan ditawar-menawar jauh sebelum diketok palu di paripurna. Ketiga, karena keterlibatan warga dalam Prolegnas nyaris nihil. Padahal, Prolegnas adalah peta jalan utama legislasi. Mengetahui mana RUU yang mandek, mana yang melaju, bisa memberi gambaran awal arah politik. Sayangnya, masyarakat sering hanya tahu hasil akhirnya.
Di sisi lain, DPR bukanlah sekadar ruang stempel. Ada 13 komisi yang membagi sektor-sektor vital: energi, pertambangan, kesehatan, hingga telekomunikasi. Di sinilah menteri bisa dipanggil, diinterogasi, bahkan ditekan untuk menyesuaikan kebijakan. Di sinilah pula undang-undang strategis seperti UU Perlindungan Data Pribadi lahir, atau insentif energi terbarukan dirancang. Pimpinan komisi, baik ketua maupun wakilnya, memainkan peran kunci dalam menentukan arah kebijakan—dan semua itu merupakan hasil transaksi politik antarpartai.
Maka, seruan “bubarkan DPR” lebih tepat dibaca sebagai ekspresi frustrasi ketimbang solusi konstitusional. Secara hukum, pembubaran DPR hampir mustahil dilakukan tanpa amandemen UUD 1945. Lembaga legislatif adalah bagian tak terpisahkan dari sistem presidensial, setara dengan Presiden yang kini dipegang Prabowo Subianto. Justru yang seharusnya “dibubarkan” adalah budaya politik transaksional, praktik korupsi, dan mentalitas elite yang lebih tunduk pada kepentingan partai ketimbang rakyat.
DPR tetap vital. Ia bukan hanya simbol demokrasi, tetapi jantung yang memompa arah kebijakan negara. Mengabaikan dinamika di Senayan sama saja dengan menutup mata terhadap separuh wajah politik Indonesia. Presiden mungkin wajah negara, tetapi denyut kebijakan sering kali berawal dari ruang-ruang rapat komisi, dari pasal demi pasal yang disusun, dari tanda koma yang disisipkan.
Teriakan di jalanan bisa dibubarkan dengan gas air mata. Tetapi ketidakpercayaan publik terhadap DPR tidak bisa dipadamkan begitu saja. Dan jika lembaga ini tidak segera berbenah, teriakan “Bubarkan DPR” akan terus bergema—bukan sekadar sebagai ekspresi marah, melainkan sebagai cermin dari demokrasi yang sedang kehilangan kepercayaan rakyatnya.























