Ada satu kata dalam bahasa Sunda yang begitu pas untuk menggambarkan sikap Presiden Jokowi belakangan ini: nurustunjung—tidak tahu diri. Kata itu bukan sekadar ungkapan kesal, melainkan cermin yang memantulkan betapa kekuasaan bisa membuat seorang pemimpin kehilangan kepekaan, bahkan kehilangan rasa malu.
Di ujung masa jabatannya, Jokowi seharusnya belajar bagaimana seorang negarawan berpamitan dengan anggun. Ia seharusnya mengakhiri perjalanannya dengan memberi contoh kebesaran hati: menjaga jarak dari hiruk pikuk perebutan kuasa, menghormati rakyat dengan diam yang bermartabat. Tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Ia memilih melontarkan pernyataan yang brutal, mendeklarasikan dukungan untuk Prabowo–Gibran dua periode. Sebuah ucapan yang menyinggung banyak pihak, melukai hati rakyat, dan menampar etika demokrasi.
Jokowi, yang dahulu datang dengan wajah sederhana, kini berdiri dengan wajah kuasa yang pongah. Ia lupa, negeri ini bukan panggung keluarga. Ia lupa, bahwa demokrasi bukan warisan yang bisa digilir antara anak, menantu, dan kerabat dekat. Ia lupa, bahwa rakyat bukanlah figuran bisu yang hanya diminta bertepuk tangan ketika lakon dinasti dimainkan.
Nurustunjung—itulah yang tepat. Tidak tahu diri, ketika seorang presiden yang mestinya menjaga marwah konstitusi malah merobeknya demi hasrat kekuasaan. Tidak tahu diri, ketika ia menutup mata terhadap nurani rakyat, lalu dengan enteng mengumumkan dukungan seakan republik ini milik pribadi. Tidak tahu diri, karena lupa bahwa sumpah jabatan yang pernah ia ucapkan bukanlah untuk melanggengkan nama keluarganya di puncak kekuasaan.
Gelombang protes pun bermunculan. Dari ruang-ruang akademik, mahasiswa bersuara lantang menolak praktik politik dinasti yang kian telanjang. Dari jalan-jalan kota, rakyat menumpahkan amarah karena merasa dihina. Dari warung kopi hingga forum diskusi kecil, keluh kesah rakyat terdengar sama: kecewa pada presiden yang di akhir masa jabatannya justru menodai demokrasi.
Sejarah, pada akhirnya, tidak akan pernah melupakan momen ini. Nama Jokowi akan dicatat bukan sebagai presiden yang berpulang dengan terhormat, melainkan sebagai pemimpin yang menutup masa kekuasaannya dengan sikap nurustunjung. Ia memilih jalan yang kelak akan menjadi beban bagi anak cucu politiknya, karena sejarah tidak pernah berpihak pada kekuasaan yang pongah dan brutal.
Kekuasaan boleh memanipulasi hukum, boleh mengatur panggung, bahkan boleh menutup telinga dari kritik rakyat. Namun satu hal yang tak bisa dikendalikan adalah ingatan sejarah. Dan sejarah akan menuliskan, bahwa di tahun-tahun akhirnya, Jokowi tidak tahu diri. Ia meninggalkan demokrasi dalam keadaan luka, meninggalkan rakyat dengan getir, dan meninggalkan nama yang akan selalu diingat dengan cemooh.
Itulah takdir bagi siapa pun yang nurustunjung—tidak tahu diri di hadapan rakyatnya sendiri.