Fusilatnews – Di SMAN Cimarga 1, Lebak, Banten, seorang kepala sekolah menampar murid laki-laki yang kedapatan merokok di lingkungan sekolah. Di permukaan, ini perkara disiplin sederhana. Tapi dalam konteks Indonesia 2025, dua-duanya salah: sang murid dan sang guru.
Menampar murid kini bukan lagi bentuk “pendidikan keras” seperti dulu, melainkan kekerasan fisik yang bisa berujung pidana. Begitu pula murid yang merokok di sekolah, melanggar kawasan tanpa rokok sebagaimana diatur dalam Permendikbud Nomor 64 Tahun 2015 dan UU Kesehatan 17 Tahun 2023. Hukum telah berubah, begitu pula norma sosial yang mengiringinya.
Namun, di balik itu ada perubahan yang lebih dalam: bergesernya sistem nilai masyarakat. Pada dekade 1960–1970-an, merokok bukan soal moral, apalagi kriminal. Guru boleh merokok di kelas, murid boleh melihat, bahkan bangga bila kelak bisa meniru orang dewasa. Merokok adalah simbol kedewasaan sosial, bukan pelanggaran tata tertib.
Sekolah waktu itu tak perlu memasang spanduk “Kawasan Tanpa Rokok” atau melakukan razia. Norma masyarakat sudah cukup jadi pagar. Murid tahu batas, guru tahu peran, dan orang tua menegakkan nilai. Sekarang, pagar itu diganti undang-undang. Segala hal diatur secara legal, tapi daya didik sosialnya justru melemah.
Guru kini terjepit di antara regulasi dan frustrasi. Gaji kecil, beban administratif besar, lalu masih harus jadi “polisi rokok”. Tak heran bila ada yang hilang kesabaran—dan menampar. Tindakan itu tentu tak bisa dibenarkan, tapi bisa dimengerti dalam lanskap sosial yang kehilangan keseimbangan antara norma dan hukum.
Sementara itu, orang tua modern cepat bereaksi. Anak ditampar, langsung lapor polisi, menggandeng Komnas HAM Anak. Mereka lupa, pendidikan karakter bukan monopoli sekolah. Kalau anak berani merokok di sekolah, pasti ada ruang pendidikan di rumah yang longgar. Namun, yang disalahkan tetap sekolah—karena lebih mudah menunjuk lembaga daripada bercermin ke keluarga.
Kita hidup di zaman paradoks: sekolah dituntut membentuk karakter anak, tapi masyarakat tidak memberi ruang moral yang mendukung. Pemerintah sibuk menambah aturan, orang tua sibuk menuntut, guru sibuk bertahan. Di tengah itu, pendidikan kehilangan ruhnya sebagai kerja kebudayaan.
Tamparan di SMAN Cimarga adalah tamparan simbolik bagi kita semua. Ia mengingatkan bahwa pendidikan tak bisa berdiri di atas pasal-pasal hukum semata. Ia butuh norma sosial, keteladanan, dan tanggung jawab bersama—antara sekolah, keluarga, dan masyarakat. Tanpa itu, sekolah hanya akan jadi arena hukum, bukan ruang tumbuh bagi manusia.

























