Virus corona varian Omicron di Jepang dianggap lebih ganas dibandingkan negara lain. Para ahli hingga pemerintah daerah mengatakan hal ini dipicu penundaan peluncuran vaksin booster yang membuat masyarakat lebih rentan dibandingkan negara lainnya.
Hal ini bisa berarti masalah politik bagi Perdana Menteri Fumio Kishida karena hampir 30% populasi berusia 65 tahun atau lebih belum mendapatkan booster. Sehingga berisiko lebih besar terkena virus corona tanpa proteksi.
Hal ini terungkap saat Walikota Kota Soma di Jepang utara dan ketua asosiasi nasional pemimpin kota, Hidekiyo Tachiya, bertemu Kishida di Oktober 2021 untuk mendesak dimulainya pemberian booster lebih awal. Namun tidak ada yang diberikan sampai Desember.
Booster juga hanya diberikan kepada dokter dan petugas kesehatan. Ini diyakini sejumlah dokter membuat warga lebih rentan.
“Jika mereka memberi tahu kami pada November, bahwa enam bulan sudah cukup, maka di Soma kami bisa mendapatkan suntikan mulai Desember, dan untuk itu saya merasa kesal,” ujar seorang dokter bernama Tachiya kepada Reuters, dikutip Kamis (17/2/2022).
“Jika lebih cepat, tidak akan ada begitu banyak penderitaan dan begitu banyak orang tidak akan mati.”
Pihak berwenang di Tokyo juga mendorong diadakannya booster yang lebih cepat. Namun tidak berhasil.
“Kami meminta tembakan berikutnya secepat mungkin tetapi pemerintah tidak setuju,” kata Gubernur Tokyo Yuriko Koike kepada wartawan baru-baru ini.
Beberapa pihak menyalahkan Kementerian Kesehatan Jepang. Ini dikaitkan dengan jeda delapan bulan antara vaksin oleh dewan ilmu kesehatan.
Sistem itu dimodifikasi pada Desember dan Januari untuk menanggapi ancaman Omicron. Namun, kepala vaksin di bawah pemerintahan sebelumnya, Taro Kono, mengatakan masalahnya adalah layanan sipil yang bergerak lambat.
“Yang gagal adalah kementerian kesehatan,” kata Kono.
“Saya sudah memberitahu Kantor Perdana Menteri, Anda harus berhati-hati karena kementerian kesehatan tidak akan membantu Anda… Kamu benar-benar harus mencambuk mereka agar semuanya bergerak.”
Kono mengatakan intervensi adalah kunci untuk menyelesaikan sesuatu dengan cepat. Dia ingat merayu eksekutif Pfizer untuk memastikan pengiriman vaksin lebih cepat, dengan harapan gerakan itu akan membantu mempercepat pasokan.
Meskipun Jepang relatif lambat untuk meluncurkan kampanye vaksinasi awal, namun mempercepatnya membuahkan hasil. Sehingga pada November lalu, Jepang memiliki tingkat vaksinasi tertinggi di negara-negara kaya Kelompok Tujuh (G-7).
Tetapi kemudian kementerian kesehatan tetap pada protokol untuk menunggu delapan bulan antara kursus vaksinasi pertama dan booster, bahkan ketika negara-negara lain memotong waktu tunggu. Tentu pemerintah daerah, termasuk Tokyo, mendesak peluncuran yang lebih cepat.
Penantian minimum akhirnya dipersingkat menjadi enam bulan, masih lebih lama dari tiga bulan di Korea Selatan dan lima bulan di Singapura. Hanya 10% dari populasi Jepang yang mendapat suntikan ketiga, dibandingkan dengan lebih dari 50% di Korea Selatan dan Singapura.
Menurut Worldometers, kini Jepang memiliki total 4.055.675 kasus infeksi secara akumulatif dengan dengan 20.701 total kematian. Kemarin Jepang mencatat 79.896 kasus baru dengan 207 kematian.
Sumber : CNBCIndonesia