Fusilatnews – Di Pengadilan Negeri Medan, seorang hakim meminta jaksa KPK menghadirkan Bobby Nasution. Nama itu terucap tanpa gemuruh, tapi publik tahu bobotnya: menantu Jokowi.
Di republik ini, kekerabatan dengan orang nomor satu sering lebih ampuh dari pasal-pasal hukum. Sebuah perlindungan tak tertulis, seperti tameng yang tak terlihat. Maka, permintaan hakim itu seakan menyalakan lampu di sudut panggung yang biasanya dibiarkan gelap: akankah kita benar-benar melihat seorang anggota keluarga istana berdiri memberi keterangan di ruang sidang?
Bobby tentu bukan terdakwa. Ia bukan pula subjek dakwaan. Tapi kehadirannya penting, karena hukum bukan sekadar menyusun teka-teki di atas kertas. Ia mencari kebenaran yang utuh. Dan kebenaran itu, sayangnya, sering berhenti di depan pintu keluarga penguasa.
Di titik inilah ironi kita: korupsi proyek jalan di Sumatera Utara, yang mestinya tentang aspal, lubang, dan rakyat yang melewati keduanya, mendadak berubah menjadi drama tentang istana. Jalan yang berlubang adalah luka publik; tapi nama yang muncul justru memperlihatkan lubang dalam sistem keadilan.
Kita tahu pola lama: kontraktor kecil ditangkap, pejabat menengah diseret, tapi lingkaran terdekat kekuasaan tetap steril. Begitu berulang-ulang, hingga rakyat lebih percaya pada satire ketimbang sumpah pengadilan. Maka, ketika hakim menyebut nama Bobby, publik antara berharap dan sinis. Harap bahwa hukum masih punya gigi; sinis bahwa gigi itu biasanya ompong kalau menggigit terlalu dekat dengan istana.
Apakah Bobby akan datang? Mungkin ya, mungkin tidak. Jika ia hadir, hukum bisa bernafas sejenak: republik ini, sekali saja, menunjukkan bahwa menantu presiden hanyalah warga negara di hadapan undang-undang. Jika ia mangkir dengan seribu alasan, maka sidang ini hanya menambah panjang daftar sandiwara hukum yang kita tonton sejak lama.
Dan Presiden, ayah mertua yang diam di Jakarta, barangkali tetap bisa tersenyum: nepotisme bukan lagi kata kotor, tapi strategi keluarga. Ia membangun bukan hanya jalan dan gedung, tapi dinasti. Hukum? Biarlah sesekali dipinjam sebagai dekorasi panggung, untuk membuat penonton percaya bahwa lakon masih berjalan sesuai naskah.
Tapi publik tahu, panggung itu setengah gelap. Dan di sisi gelap itulah, kebenaran sering disembunyikan.