Peristiwa penangkapan Muhammad Dabin, seorang WNI berusia 22 tahun di Tokyo pada 14 September 2025, kembali menyoroti rapuhnya wajah diplomasi perlindungan Indonesia di luar negeri. Dabin ditangkap karena mencuri 18 barang mewah dari sebuah toko vintage di Shibuya dengan nilai mencapai Rp 1,3 miliar. Dalam hukum Jepang, tindak pencurian diancam hukuman hingga 10 tahun penjara. Namun, di balik kasus kriminal ini, terselip pertanyaan besar: sejauh mana negara hadir dalam melindungi warganya di luar negeri, sekalipun mereka berhadapan dengan hukum setempat?
Kasus Tokyo: Antara Hukum dan Perlindungan
Dalam kasus Dabin, KBRI Tokyo memang menyebutkan akan memberikan pendampingan hukum serta memastikan proses berjalan sesuai aturan. Namun, hingga kini pernyataan resmi yang lebih komprehensif tidak juga muncul. Padahal, kasus ini sarat isu diplomatik: melibatkan kerugian besar, melibatkan warga asing, serta berpotensi menimbulkan stigma baru terhadap WNI di Jepang. Minimnya komunikasi publik KBRI justru mempertegas persepsi bahwa kedutaan Indonesia kerap bergerak setengah hati — lebih reaktif ketimbang proaktif.
Pola Kasus Serupa: Luka Lama yang Terulang
Kasus Dabin bukanlah yang pertama. Banyak kasus sebelumnya menunjukkan betapa lemahnya peran kedutaan dan konsulat Indonesia:
Kasus TKW Satinah (Arab Saudi, 2011–2014)
Satinah binti Jumadi Ahmad, TKW asal Ungaran, dijatuhi hukuman mati karena membunuh majikannya. Pemerintah Indonesia baru serius melakukan diplomasi setelah tekanan publik membesar. Uang diyat miliaran rupiah baru dibayarkan setelah bertahun-tahun tarik-ulur, memperlihatkan lemahnya respons awal.Kasus Merry Utami (Indonesia – Filipina, 2001–2016)
WNI ini divonis mati di Filipina karena penyelundupan narkoba. Ia mengaku hanya dijebak sindikat, namun perlindungan hukum dari pemerintah Indonesia sangat terbatas. Amnesty International sempat menyoroti lemahnya pembelaan diplomatik terhadap Merry, yang nyaris dieksekusi.Kasus Pekerja Migran di Malaysia
Setiap tahun, ribuan pekerja migran Indonesia menghadapi deportasi, penahanan, hingga penyiksaan. Namun, kedutaan sering kali hanya memberi pernyataan “kami memantau” tanpa strategi nyata untuk melobi pemerintah Malaysia atau mengubah mekanisme perlindungan pekerja migran.Kasus Wisatawan Indonesia di Singapura & Hong Kong
Beberapa kali terjadi kasus WNI ditahan karena diduga shoplifting (pencurian di pusat perbelanjaan). Banyak di antaranya mengaku hanya salah paham (misalnya lupa membayar barang). Namun, kedutaan tidak hadir secara aktif untuk mengurangi stigma, sehingga media lokal kerap membangun citra negatif terhadap WNI.
Diplomasi yang Pasif
Jika ditelusuri, persoalan bukan hanya sekadar kasus per kasus, melainkan pola diplomasi yang pasif. Kedutaan sering kali hanya:
Memberi pernyataan standar “kami memantau”.
Memberikan bantuan hukum terbatas tanpa mengupayakan strategi diplomasi yang lebih kuat.
Abai dalam komunikasi publik, sehingga isu negatif terhadap WNI dibiarkan membesar.
Sementara itu, negara-negara lain — seperti Filipina — jauh lebih agresif dalam melindungi warganya di luar negeri. Dalam kasus pekerja migran, pemerintah Filipina bahkan menyiapkan dana darurat, pengacara khusus, hingga melakukan tekanan politik.
Jalan Keluar: Perlindungan Bukan Sekadar Formalitas
Kasus Dabin di Tokyo seharusnya jadi cermin untuk evaluasi besar:
KBRI harus proaktif, bukan sekadar reaktif. Diplomasi perlindungan harus menjadi prioritas, bukan hanya urusan administratif.
Perlindungan hukum harus sistematis. Indonesia perlu menyiapkan jaringan pengacara internasional yang siap mendampingi WNI, bukan sekadar menunggu kasus muncul.
Komunikasi publik harus transparan. Kedutaan wajib memberi laporan terbuka kepada masyarakat untuk menghindari spekulasi dan stigma.
Peran negara dalam pencegahan. Edukasi hukum dan budaya bagi calon pekerja migran maupun pelajar Indonesia ke luar negeri harus diperkuat agar kasus serupa tidak terulang.
Penutup
Kasus pencurian tas mewah di Tokyo ini hanyalah satu dari sekian banyak insiden yang melibatkan WNI di luar negeri. Namun, yang lebih memprihatinkan adalah lemahnya daya tanggap kedutaan Indonesia dalam memberikan perlindungan hukum dan diplomasi. Selama negara hanya hadir dengan kalimat “kami memantau”, maka citra WNI di luar negeri akan terus berada di ujung stigma dan diskriminasi.






















