Oleh: Malika Dwi Ana
Pasal 33 UUD 1945 versi asli hanya terdiri dari tiga ayat. Tegas, anti-penjajah, tanpa celah:
- Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
- Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh negara.
- Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Tidak ada ruang bagi swasta asing untuk menguasai cabang-cabang produksi penting.
Tidak ada kalimat “diatur lebih lanjut dengan undang-undang”.
Lalu amandemen 1999–2002 menambah dua ayat baru pesanan oligarki yang ngiler pengen menguasai SDA Indonesia di pasal 33:
Ayat (4) penuh kata-kata manis:
demokrasi ekonomi, kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian…
Ayat (5) hanya satu kalimat pendek, tapi mematikan:
“Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan pasal ini diatur dengan undang-undang.”
Kalimat ini adalah kunci yang diserahkan kepada eksekutif dan DPR.
Dengan kunci ini, semua kata indah di ayat (4) bisa dibalik 180 derajat seenak jidat.
Buktinya ada di depan mata:
- UU Minerba 2020 + PP 96/2021: hilirisasi nikel jadi alasan, tapi 95 % smelter di Morowali, Weda Bay, dan Obi dimiliki perusahaan China. Indonesia hanya dapat royalti 2–3 % dan limbah B3.
- UU Cipta Kerja + Perpres PSN: sanksi pidana lingkungan dicoret, hutan dilepas untuk investasi strategis tanpa melibatkan persetujuan daerah.
- Bandara privat IMIP Morowali: bebas Bea Cukai dan Imigrasi selama enam tahun karena bandara khusus industri strategis — lagi-lagi atas nama pelaksanaan Pasal 33 ayat (5).
Semua sah secara konstitusional.
Semua legal menurut hukum.
Tapi substansinya menjadi: cabang-cabang produksi penting dikuasai asing, kekayaan alam dikeruk tanpa kendali negara, kemandirian ekonomi tinggal slogan.
Inilah penjajahan asimetris paling canggih:
bukan dengan senjata, tapi dengan undang-undang yang lahir dari celah satu ayat.
Versi asli Pasal 33 adalah benteng kedaulatan ekonomi.
Namun versi amandemen menjadikannya pintu masuk penjajahan yang ironisnya kita buka sendiri dari dalam.
Kini giliran Prabowo.
Jika benar ingin menutup kebocoran yang ia teriakkan sejak 2014, satu-satunya jalan bermartabat adalah:
CABUT AYAT (4) dan (5) YANG SUDAH JADI KARPET MERAH BAGI PENJAJAH BERKEDOK INVESTOR.
Jika hanya berhenti pada razia tambang, latihan TNI, dan foto heroik di Morowali, maka itu hanyalah teater baru:
ganti aktor, naskah tetap sama, dan sutradara yang sama.
Pertanyaan untuk kita semua:
berani kah kita menghapus ayat (4 & 5) itu — sebelum Indonesia benar-benar menjadi provinsi China bagian selatan?
(Malika’s Insight – 26 November 2025)

Oleh: Malika Dwi Ana






















