Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Calon Pimpinan KPK 2019-2024
Jakarta, Fusilatnews – Hanya ada satu kata: lawan!

Penggalan bait puisi “Peringatan” (1986) karya Wiji Thukul (1963-1998) ini tampaknya menginspirasi elite-elite PDI Perjuangan. Akhirnya, segala perlawanan mereka lakukan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Semua itu demi sang sekretaris jenderal, Hasto Kristiyanto.
Kini, tampaknya PDIP “tersandera” Hasto Kristiyanto, sehingga segala cara ditempuh demi melindungi sang sekjen.
Semua bermula dari Harun Masiku yang pada akhir 2019 menyuap Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan agar calon anggota legislatif (caleg) dari PDIP itu dilantik menjadi anggota DPR, menggantikan Nazaruddin Kiemas, adik kandung mendiang Taufiq Kiemas yang berarti adik ipar Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri, yang meninggal dunia, melalui mekanisme Pergantian Antar-Waktu (PAW) untuk Daerah Pemilihan (Dapil) Sumatera Selatan I.
Saat hendak ditangkap KPK, ternyata ada “invisible hands” (tangan-tangan tak kelihatan) yang melindunginya sehingga Harun Masiku bisa lolos dan melarikan diri sejak awal Januari 2020 hingga kini. Mungkin Harun adalah pelari terjauh kedua setelah Edy Tanzil.
Entah apa kaitannya, sehingga KPK kemudian memeriksa Hasto sebagai saksi kasus pelarian Harun Masiku, Senin (10/6/2024). Ajudan pribadi Hasto, Kusnadi pun tak luput dari pemeriksaan KPK.
Nah, saat pemeriksaan itulah para penyidik KPK melakukan penyitaan terhadap handphone (HP) dan tas milik Hasto yang saat itu dibawa Kusnadi. Tas itu berisi sebuah buku.
Hasto dan Kusnadi pun meradang. Mereka kemudian melakukan perlawanan dari segala penjuru.
Pertama, mereka melaporkan penyidik KPK ke Dewan Pengawas (Dewas) lembaga antirasuah itu dengan tuduhan melanggar kode etik.
Kedua, mereka melaporkan penyidik KPK ke Komnas HAM yang dinilai melanggar hak asasi manusia (HAM).
Ketiga, mereka melaporkan penyidik KPK Rossa Purbo Bekti ke Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri dengan tuduhan melanggar hukum acara.
Namun oleh polisi Hasto dan Kusnadi disarankan mengajukan gugatan praperadilan. Entah apakah mereka kini sudah mengajukan praperadilan atau belum.
Keempat, Kusnadi minta perlindungan ke Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) karena merasa terancam. LPSK sedang melakukan analisis.
Teranyar, atau kelima, PDIP melalui kuasa hukumnya, Ronny Talapessy mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap penyidik KPK ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Senin (1/7/2024).
Menurut Ronny, langkah penyidik KPK menyita HP dan tas berisi buku milik Hasto adalah melawan hukum, karena kedua benda itu tidak ada hubungannya dengan kasus Harun Masiku. Apalagi status Hasto masih sebatas saksi.
Ronny berdalih, buku Hasto yang disita KPK memuat strategi PDIP menghadapi Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024.
Selain itu, katanya, buku tersebut berkaitan dengan marwah dan kedaulatan partai sehingga pihaknya keberatan jika barang-barang tersebut ikut disita KPK.
Memang, partai apa pun wajar melindungi sekjennya. Yang tidak wajar adalah ketika perlindungan itu dilakukan secara berlebihan. Dari sinilah kemudian muncul spekulasi liar bahwa PDIP telah tersandera oleh Hasto.
Bahkan Hasto seolah-olah sudah menyatu dengan PDIP. Hasto ya PDIP, PDIP ya Hasto. Terjadi personalisasi institusi dan institusionalisasi personal.
Spekulasi pun bertambah liar. Misalnya, HP dan buku Hasto bisa berubah menjadi kotak Pandora. Jika dibuka, segala keburukan di dalamnya akan berhamburan keluar, baik keburukan Hasto maupun PDIP. Sebab itulah, masuk akal bila kemudian PDIP mati-matian melindungi Hasto. Sebab, Hasto-lah yang memegang kunci rahasia partai.
Jika rahasia Hasto jebol, maka rahasia partai pun akan jebol. Mungkin inilah yang dimaksud Ronny Talapessy bahwa buku yang disita KPK itu menyangkut marwah dan kedaulatan partai.
Kini, berbagai pihak memprediksi Hasto bisa menjadi tersangka. Sebab itulah sudah saatnya PDIP melepaskan diri dari “sandera” Hasto.
Bantuan hukum secara wajar diberikan, tetapi PDIP pun harus melakukan antisipasi jangan sampai bebannya menjadi kian berat dan citranya menjadi kian buruk gara-gara keberadaan Hasto.
Apalagi, kalangan internal PDIP banyak yang siap menggantikan Hasto sebagai sekjen. Jangan sampai muncul citra PDIP ya Hasto, Hasto ya PDIP.
PDIP terlalu besar untuk dikorbankan hanya demi seorang Hasto Kristiyanto!