Fusilatnews – Ketika sistem elektronik tol Jepang lumpuh selama 38 jam pada 8–9 April 2025, negara itu mengambil keputusan sederhana namun bermakna: membuka seluruh gerbang tol agar kendaraan lewat gratis. Tak ada kemarahan publik, tak ada perdebatan soal siapa yang harus disalahkan. Negara mengakui kesalahannya, dan rakyat pun menerima kompensasinya.
Dalam banyak negara, kegagalan semacam itu akan berakhir dengan kerugian besar yang tidak pernah diganti. Namun di Jepang, cerita berlanjut dengan cara yang hampir mustahil dibayangkan di tempat lain. Setelah sistem diperbaiki, lebih dari 24 ribu pengemudi secara sukarela membayar tarif tol mereka secara daring—meski tak ada satu pun yang memaksa mereka melakukannya.
Inilah wajah integritas yang nyaris utopis. Negara yang berani mengakui kekeliruan, dan rakyat yang tidak memanfaatkan celah dari kelemahan sistem. Di antara keduanya, ada jembatan kepercayaan yang telah dibangun lama—sebuah kontrak sosial yang tak tertulis, di mana pemerintah tidak menindas, dan rakyat tidak menipu.
Tindakan sukarela itu viral di seluruh negeri, menjadi simbol nilai-nilai yang membentuk Jepang: kehormatan (meiyo) dan kepercayaan (shinrai). Dua kata yang sederhana, namun menjadi pondasi bagi tatanan sosial yang membuat hukum tak selalu harus hadir dengan paksaan.
Ketika negara salah, rakyat tak merasa dirugikan. Sebaliknya, ketika rakyat berbuat benar, negara tak menutup mata. Di situ letak kematangan peradaban: tanggung jawab yang saling menjaga, bukan saling mengintai.
Dari kisah 38 jam itu, dunia melihat betapa kuatnya etika sipil yang hidup di Jepang. Bahwa kejujuran bukanlah urusan diawasi, melainkan keputusan pribadi untuk tetap benar, bahkan ketika tak seorang pun melihat.

























