Bandar Lampung – Fusilatnews – Kebijakan larangan penjualan elpiji 3 kilogram (kg) oleh warung atau pengecer yang mulai berlaku pada awal Februari 2025,mengakibatkan warga yang tinggal dikawasn terpencil mengalami kesulitan dalam memperoleh atau mencukupi kebutuhan mereka untuk mendapatkan bahan bakar LPG khususnya bagi warga yang tinggal di kawasan yang terpencil
Sebagai contoh warga yang tinggal di kawasan kepulauan,Sebesi, mereka harus menyeberangi laut untuk mendapatkan pasokan elpiji jika stok di agen habis.
“Di sini sudah 90 persen warga memasak pakai gas, ya biasanya beli di warung,” ungkap Syamsiar saat dihubungi dari Bandar Lampung, Minggu (2/2/2025) malam.
Warung yang menjual elpiji di Pulau Sebesi biasanya dipasok oleh agen penyalur dari pulau terdekat dengan Anak Gunung Krakatau.
Menurut Syamsiar bahwa agen tersebut biasanya akan berkeliling pulau untuk memasok gas ke warung-warung pengecer.
“Dalam sebulan terakhir, stok di agen agak tersendat, dari yang biasanya seminggu sekali dipasok menjadi satu bulan sekali,” katanya.
Akibat masalah pasokan ini, Syamsiar menjelaskan, jika stok di agen habis, warung tidak dapat menjual elpiji dan warga pun tidak mendapatkan gas.
“Soalnya warga lebih sering membeli gas di warung,” tambahnya. Dalam situasi kehabisan stok di agen, pemilik warung biasanya melakukan pembelian secara kolektif ke daratan Lampung Selatan. “Mereka (pemilik warung) patungan buat ongkos kapal ke Dermaga Canti, lalu beli gas di pangkalan di sana,” jelasnya.
Adnan, salah satu warga Pulau Sebesi, mengungkapkan bahwa aturan baru yang melarang warung menjual elpiji cukup memberatkan warga pulau.
“Kalau di agen stoknya banyak ya nggak masalah, nah kalau habis gimana? Ya terpaksa harus nyeberang buat beli gas,” keluh Adnan.
Kondisi ini menunjukkan tantangan yang dihadapi oleh masyarakat Pulau Sebesi dalam mendapatkan akses terhadap kebutuhan dasar, terutama setelah adanya perubahan kebijakan dalam penyaluran elpiji.