Oleh: Malika Dwi Ana
Ditengah hiruk-pikuk politik dunia yang semakin gila, dua pemimpin besar Barat tampaknya sedang bersiap untuk skenario perang yang lebih buruk dari film-film Hollywood. Emmanuel Macron, presiden Prancis yang sering dianggap sebagai “pangeran Eropa”, diam-diam memerintahkan seluruh rumah sakit di negaranya untuk bersiap menghadapi “keterlibatan militer besar-besaran” pada Maret 2026. Ini bukan lelucon atau propaganda Rusia; dokumen resmi dari Kementerian Kesehatan Prancis yang bocor melalui surat kabar satir Le Canard Enchaîné mengungkapkan instruksi ini, yang menargetkan penanganan ribuan tentara luka dalam waktu 10 hingga 180 hari. Sementara itu, di seberang Atlantik, Donald Trump – yang kembali menduduki Gedung Putih – baru saja menandatangani perintah eksekutif untuk mengubah nama Kementerian Pertahanan AS menjadi Kementerian Perang, sebuah langkah simbolis tapi provokatif yang mengembalikan nama historis dari era George Washington. Apa artinya ini? Dunia sedang bergeser ke mode perang, dan Indonesia, dengan militer yang masih bergantung pada peralatan usang dan anggaran ala kadarnya, sebaiknya bangun dari mimpi buruk netralitasnya. Kalau tidak, kita bisa jadi pion dalam permainan besar ini.
Macron: Rumah Sakit Prancis Jadi “Rumah Sakit Perang” di 2026
Bayangkan di tengah krisis energi dan inflasi yang melanda Eropa, Macron malah fokus ke skenario apokaliptik. Instruksi rahasia dari Menteri Kesehatan Catherine Vautrin, dikirim pada 18 Juli 2025, memerintahkan badan kesehatan regional untuk mempersiapkan rumah sakit sebagai basis pendukung perang. Ini termasuk pelatihan staf untuk trauma perang, PTSD, dan penanganan korban massal dari konflik Eropa – kemungkinan besar terkait eskalasi Ukraina-Rusia atau ancaman NATO vs. Rusia. Macron sendiri telah mengumumkan penggandaan anggaran pertahanan Prancis hingga 2027, dan surat ini hanyalah bagian dari rencana itu. Bisa jadi ini sebagai persiapan rahasia untuk perang dengan Rusia, tapi pemerintah Prancis membela diri dengan bilang ini “precautionary” untuk influx korban dari luar negeri. Precautionary? Ini lebih seperti sinyal bahwa Eropa siap untuk Perang Dunia III, di mana Prancis berperan sebagai “rumah sakit darurat” bagi NATO. Dan ingat, ini bukan isu hipotetis: surat itu secara eksplisit menargetkan Maret 2026 sebagai deadline kesiapan penuh. Saat dunia lain sibuk dengan AI dan green energy, Macron memilih perang – sebuah keputusan yang mencerminkan kegagalan diplomasi Eropa yang lemah di hadapan Putin.
Trump: Dari “Defense” ke “War” – Sinyal Agresi AS
Sementara Macron bermain diam-diam, Trump lebih blak-blakan: dia menandatangani perintah eksekutif pada 5 September 2025 untuk merebranding Pentagon menjadi “Department of War”. Ini bukan sekadar ganti nama; ini pernyataan politik yang tajam. Trump, dengan Menteri Pertahanan Pete Hegseth yang disebut “Secretary of War”, mengklaim nama “Defense” terlalu “woke” dan defensif, sementara “War” mencerminkan “warrior ethos” dan kesiapan untuk menang. Situs web Pentagon kini redirect ke war.gov, dan perintah ini memerintahkan seluruh eksekutif AS untuk menggunakan nama baru dalam komunikasi resmi. Kritikus seperti Senator Demokrat Andy Kim menyebut ini kekanak-kanakan dan berisiko memprovokasi musuh, sementara pejabat Pentagon mengeluh soal biaya miliaran dolar untuk ganti logo di 700.000 fasilitas global. Tapi bagi Trump, ini bagian dari “peace through strength”: AS tak lagi sekadar bertahan, tapi siap menyerang. Ini kontras dengan janji kampanyenya sebagai “anti-war president”, tapi nyatanya, di tengah ketegangan dengan China dan Rusia, rebranding ini seperti undangan terbuka untuk konflik. Apakah ini langkah cerdas untuk deterrence, atau justru memicu arms race? Yang jelas, dunia melihat AS sebagai kekuatan perang, bukan pembela perdamaian.
Indonesia: Militer Usang di Tengah Badai Geopolitik – Waktunya Bangun atau Tenggelam?
Sekarang, pertanyaan kritisnya: Indonesia sebaiknya gimana? Dengan kedua raksasa Barat ini bersiap perang di 2026, Nusantara – yang berada di pusat Indo-Pasifik yang panas – tak bisa lagi bersembunyi di balik doktrin non-blok. Militer kita, TNI, sedang dalam reorganisasi terbesar sejak abad ini: pembentukan komando regional baru, penguatan angkatan udara dan laut, plus akuisisi 42 jet Rafale dari Prancis mulai 2026 dan 48 Kaan dari Turki. Ada juga rencana kapal induk dan kapal selam Scorpene. Tapi, ini semua dari basis yang lemah: hampir 50% peralatan militer kita usang, tak siap untuk perang modern, seperti yang dikatakan pakar Khairul Fahmi dari ISESS. Anggaran pertahanan cuma 0,8% dari PDB – jauh di bawah standar regional – dan modernisasi terfragmentasi, bergantung pada supplier beragam untuk hindari ketergantungan, tapi malah bikin interoperability kacau. Presiden Prabowo Subianto, mantan jenderal, memang dorong ekspansi: 100 batalyon baru dan militer merambah urusan sipil seperti food security via “Military Operations Other Than War”. Ini bisa jadi kekuatan, tapi juga bahaya: karena ini seperti mundur ke era otoriter Suharto, di mana militer campur aduk urusan sipil dan mengancam demokrasi.
Yang lebih parah, di tengah ketegangan Asia-Pasifik – China di Laut China Selatan, Australia yang agresif – Indonesia masih ketinggalan arms race global. Program Minimum Essential Forces gagal capai target 2024, dan anggaran minim bikin kita rentan. Kolaborasi militer dengan AS via Super Garuda Shield dan RIMPAC bagus untuk interoperability, tapi tak cukup. Strategi “smart defense” di Perpres No. 63/2022 – gabungan hard defense, cyber, dan diplomasi – harus ditingkatkan, terutama untuk ibu kota baru Nusantara yang rentan bencana dan ancaman eksternal. Tapi tanpa peningkatan anggaran ke minimal 1% PDB, ini cuma omong kosong. Sayang pemerintah Prabowo terlalu fokus ekspansi militer domestik, tapi lupa bahwa perang 2026 bisa datang dari luar – mungkin eskalasi Taiwan atau Laut Natuna. Kalau Prancis dan AS siap perang, Indonesia harus lakukan hal sama: tingkatkan modernisasi, libatkan masyarakat sipil untuk resilience, dan jaga demokrasi agar militer tak jadi monster. Kalau tidak, kita bukan pemain, tapi korban.
Dunia sedang menuju peperangan, dan Indonesia tak boleh hanya menjadi penonton. Macron dan Trump sudah memberikan sinyal bahwa 2026 adalah tahun kritis. Bangun sekarang, atau siap-siap jadi headline buruk selanjutnya.(MDA)
*Lereng Lawu, 25 September 2025