PT Pertamina (Persero) saat ini hanya bisa gigit jari melihat harga minyak dunia yang terus melambung. Pasalnya, kenaikan harga minyak dunia tersebut tak diimbangi dengan harga jual Bahan Bakar Minyak (BBM) di dalam negeri.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati sebenarnya telah meminta dukungan kepada anggota DPR agar pihaknya dapat segera diizinkan untuk menaikkan harga BBM, terutama untuk BBM non subsidi jenis bensin dengan nilai oktan (RON) 92 atau Pertamax.
Pasalnya, sejauh ini perusahaan hanya melakukan penyesuaian harga untuk beberapa jenis BBM non subsidi, seperti Pertamax Turbo, Dexlite, dan Pertamina Dex yang secara volume hanya 2% dari total penjualan BBM Pertamina.
Meski begitu, penyesuaian harga hingga kini masih belum dilakukan untuk produk BBM non subsidi jenis bensin Pertalite (RON 90) dan juga Pertamax.
Hingga kini, harga jual bensin Pertalite dan Pertamax masing-masing masih dibanderol pada Rp 7.650 dan Rp 9.000 per liter. Harga ini tidak mengalami kenaikan sejak dua tahun lalu.
Padahal, harga keekonomian atau batas atas Pertamax pada Maret ini diperkirakan telah mencapai Rp 14.526 per liter.
Bila dibandingkan dengan badan usaha swasta lainnya, harga bensin RON 92 kini rata-rata sudah berada di kisaran Rp 12.000 – Rp 13.000 per liter.
Shell Indonesia misalnya, per 1 Maret 2022, harga bensin Shell Super (RON 92) dibanderol Rp 12.990 per liter, BP-AKR menjual bensin BP 92 (RON 92) pada harga Rp 12.500 per liter.
“Even Pertamax digunakan untuk mobil bagus, jadi sudah sewajarnya dinaikkan karena ini bukan masyarakat miskin,” kata Nicke dalam RDP bersama Komisi VI DPR RI, Senin (28/3/2022).
Kemudian, untuk Solar subsidi saat ini Pertamina juga masih menjualnya dengan harga Rp 5.150 per liter. Sementara Solar non subsidi (Dexlite) harganya sudah mencapai Rp 12.950 per liter.
Artinya, terdapat selisih sebesar Rp 7.800 dalam setiap liter penjualan Solar subsidi yang dijual. Sementara dalam APBN 2022, pemerintah hanya menetapkan subsidi tetap Solar Rp 500 per liter. Alhasil, Pertamina harus nombok terlebih dahulu, mengingat selisih Rp 7.300 per liter yang dibayarkan pemerintah dalam bentuk kompensasi memerlukan waktu.
Oleh karena itu, perusahaan mengusulkan agar komposisi besaran subsidi tetap Solar saat ini dapat dinaikkan. Pasalnya, besaran subsidi tetap Solar sebesar Rp 500 per liter sudah jauh dari nilai keekonomian.
Menurut Nicke pemberian kompensasi memerlukan perhitungan tersendiri, di mana menurut Peraturan Presiden (Perpres) kompensasi akan dibayarkan sesuai kemampuan negara. Yang akhirnya, pembayaran kompensasi dapat melewati tahun.
Padahal pembayaran kompensasi yang membutuhkan waktu tersebut akan berdampak signifikan bagi Pertamina. Terutama ke cash flow perusahaan serta “profit and loss“.
“Karena pembayaran yang terlambat itu maka Pertamina terkena beban yang namanya time value of money. Tahun lalu time value of money sekitar Rp 900 juta yang langsung menggerus profit and loss, itu gambarannya,” ujar Nicke.