Jakarta, Fusilatnews.--Dalam dunia politik Indonesia yang dinamis dan penuh kejutan, koalisi dan aliansi sering kali berubah dengan cepat, mengaburkan batas antara kawan dan lawan. Fenomena ini terlihat jelas dalam perjalanan politik Prabowo Subianto, seorang tokoh militer yang kharismatik dan mantan rival sengit Joko Widodo (Jokowi) dalam dua pemilihan presiden. Setelah bersaing ketat dalam Pilpres 2014 dan 2019, Prabowo akhirnya menerima tawaran untuk bergabung dalam pemerintahan Jokowi sebagai Menteri Pertahanan. Langkah ini tidak hanya mengejutkan banyak pihak, tetapi juga menyoroti dinamika politik pragmatis yang sering kali mengesampingkan prinsip demi kekuasaan.
Tidak hanya di tingkat nasional, fleksibilitas politik juga tampak jelas di level regional. Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang dikenal dengan sikap ideologisnya yang keras, kini mendukung menantu Presiden Joko Widodo, Bobby Nasution, dalam pemilihan gubernur Sumatera Utara. Langkah ini memicu perdebatan dan kritik, terutama di kalangan pendukung PKS yang merasa bahwa partai tersebut telah mengkhianati prinsip-prinsipnya sendiri demi kepentingan politik praktis. Fenomena ini memberikan gambaran nyata tentang bagaimana politik Indonesia sering kali menghalalkan segala cara, mengaburkan perbedaan antara yang “halal” dan “haram” dalam konteks kekuasaan dan aliansi politik.
Dalam setiap pemilihan presiden (Pilpres), gubernur (Pilgub), atau bupati/walikota (Pilbup), fenomena yang terlihat adalah kaburnya platform partai. Pada satu saat, partai A menjadi lawan dari partai B, namun pada kesempatan lain, terutama dalam Pilgub atau Pilbup, partai yang sebelumnya bermusuhan dapat menjadi kawan dalam sebuah koalisi. Fenomena ini menunjukkan bahwa yang dikejar bukanlah kepentingan ideologis atau programatik, melainkan “hanya kekuasaan.” Pertanyaannya kemudian, untuk apa berdirinya sebuah partai politik? Lebih mengkhawatirkan lagi, di parlemen, koalisi partai bisa mencapai 82%, menghilangkan check and balances yang esensial dalam demokrasi. Anggota dewan tampak semakin jauh dari memperjuangkan kepentingan konstituen mereka.
Ambiguitas Platform Partai: Sebab dan Akibat
Sebab
- Pragmatisme Politik: Partai politik di Indonesia cenderung pragmatis dalam menyusun koalisi. Mereka lebih mengedepankan peluang untuk menang dan mendapatkan kekuasaan daripada mempertahankan konsistensi ideologi atau platform partai. Ini membuat partai-partai fleksibel dalam berkoalisi dengan siapa saja yang dapat memberikan keuntungan elektoral.
Sistem Pemilu dan Fragmentasi Partai: Sistem pemilu di Indonesia yang multipartai membuat fragmentasi politik sangat tinggi. Untuk memenangkan pemilihan, partai harus membentuk koalisi, sering kali dengan partai yang memiliki ideologi berbeda. Ini menyebabkan kaburnya platform partai karena kompromi-kompromi politik yang harus dilakukan.
Kepentingan Elit Politik: Kepentingan elit politik sering kali mendominasi keputusan partai. Ambisi individu atau kelompok dalam partai bisa mengarahkan keputusan strategis yang pragmatis dan oportunistik, bukan berdasarkan platform atau visi partai.
Kurangnya Pendidikan Politik: Rendahnya pendidikan politik di kalangan masyarakat menyebabkan pemilih lebih mudah menerima pergeseran koalisi tanpa mempertanyakan konsistensi dan integritas platform partai. Partai merasa tidak ada konsekuensi elektoral yang serius dari pergeseran ini.
Akibat
- Hilangnya Kepercayaan Publik: Ketika platform partai menjadi tidak jelas dan fleksibel, kepercayaan publik terhadap partai politik menurun. Pemilih menjadi skeptis terhadap komitmen dan janji politik yang diberikan oleh partai.
Erosi Demokrasi: Tanpa check and balances yang kuat, demokrasi menjadi lemah. Dominasi koalisi besar di parlemen mengurangi ruang untuk oposisi yang kritis dan konstruktif, yang sangat penting untuk menjaga akuntabilitas dan transparansi pemerintah.
Kepentingan Konstituen Terabaikan: Dengan fokus yang lebih besar pada kekuasaan dan keuntungan politik jangka pendek, kepentingan konstituen sering kali diabaikan. Anggota dewan lebih sibuk mengamankan posisi dan pengaruh politik mereka daripada memperjuangkan isu-isu yang penting bagi pemilih mereka.
Korupsi dan Nepotisme: Koalisi pragmatis dan ambiguitas platform sering kali membuka ruang untuk praktik korupsi dan nepotisme. Ketika partai politik tidak lagi berfokus pada visi dan misi yang jelas, proses pengambilan keputusan cenderung menjadi lebih tertutup dan rawan penyalahgunaan kekuasaan.
Analisis
Untuk menganalisis lebih dalam, kita perlu melihat bagaimana sistem politik yang ada mendukung atau bahkan mendorong perilaku politik seperti ini.
- Sistem Presidensial dengan Sistem Pemilu Proporsional: Indonesia menganut sistem presidensial dengan pemilu legislatif proporsional. Dalam konteks ini, partai-partai politik harus mendapatkan sebanyak mungkin kursi di parlemen untuk memiliki pengaruh. Hal ini membuat partai-partai pragmatis dalam berkoalisi, bahkan dengan lawan politik yang ideologinya berbeda.
Kurangnya Regulasi yang Kuat terhadap Koalisi Politik: Tidak adanya regulasi yang mengatur koalisi politik secara ketat menyebabkan partai bebas berkoalisi kapan saja dan dengan siapa saja. Ini menciptakan iklim politik yang sangat cair dan oportunistik.
Kultur Politik yang Berorientasi Kekuasaan: Kultur politik di Indonesia cenderung berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan publik. Ini tercermin dalam perilaku elit politik yang lebih memprioritaskan kepentingan pribadi dan kelompok daripada kepentingan publik.
Solusi dan Rekomendasi
- Pendidikan Politik: Meningkatkan pendidikan politik di kalangan masyarakat untuk menciptakan pemilih yang kritis dan sadar akan pentingnya platform partai. Ini bisa dilakukan melalui program pendidikan formal maupun kampanye kesadaran politik oleh organisasi masyarakat sipil.
Reformasi Sistem Pemilu: Mempertimbangkan reformasi sistem pemilu untuk mengurangi fragmentasi partai dan mendorong konsistensi platform. Sistem pemilu campuran atau semi-proporsional bisa menjadi salah satu opsi.
Penguatan Regulasi Koalisi: Membuat regulasi yang lebih ketat mengenai pembentukan dan perubahan koalisi politik untuk menjaga konsistensi platform partai dan memastikan adanya check and balances di parlemen.
Transparansi dan Akuntabilitas: Mendorong transparansi dalam pengambilan keputusan politik dan memperkuat mekanisme akuntabilitas untuk meminimalisir korupsi dan nepotisme.
Dengan mengatasi akar masalah dan mengambil langkah-langkah konkret, kita dapat membangun sistem politik yang lebih sehat dan berorientasi pada kepentingan publik, bukan hanya kekuasaan.