Oleh : Muhammad Yamin
Pemerhati Hukum
Tidak ada Mahkota manapun yang dapat mengintervensi polisi untuk tidak atau memeriksa seseorang dalam penegakan hukum kecuali tunduk pada hukum itu sendiri. Begitulah fungsi tunggal, terdepan kepolisian dalam Mengayomi, Melindungi, dan Melayani masyarakat.
Surat Telegram Panglima TNI (ST/1221/2021) lalu, selain potensial membawa kusam demokrasi juga membawa ketidakpastian hukum dalam penegakan hukum, khususnya menambah buruk psikologi penyidik kepolisian dalam fungsi penegakan hukum yang Mengayomi, Melindungi, dan Melayani masyarakat dalam prinsip kesetaraan dalam hukum “Equality Before The Law”.
Council Of Organization Psychology (COPP), 2011 mengatakan bahwa; Ada beberapa kepentingan publik yang lebih menarik daripada keselamatan publik, yaitu kemampuan kepolisian untuk melakukan kegiatan dengan aman, efektif, efisien, dan sesuai dengan persyaratan Undang – Undang yang Sebagian besar bergantung pada kesehatan fungsional dan lembaga tempat mereka bekerja.
Berkaitan dengan ST Panglima a quo semua pihak, khususnya DPR harus melihat secara holistik agar dapat melahirkan undang-undang yang baik yang tidak saling bertentangan satu dan yang lainnya, begitu juga Pihak TNI diharapkan harus lebih hati – hati dalam melahirkan aturan internal walaupun memiliki aturan khusus dan pengadilan khusus jangan sampai negara Indonesia Kembali kesejarah yang buruk di era orde lama terlebih orde baru, dimana TNI memiliki kekebalan tak terhingga, dan telah menyumbang banyaknya pelanggaran HAM.
Dampak buruk dari ST bila dikaitkan dengan kondisi anggota internal TNI yaitu ekonomi yang belum mencukupi menjadi faktor TNI terlibat dalam kehidupan masyarakat sipil sangat aktif, dan menjadi penyebab banyaknya pelanggaran hak yang juga menyebabkan perbuatan kriminal, dimana keterlibatan Polisi untuk menegakkan hukum dibutuhkan keleluasaan dalam memeriksa setiap kasus-kasus sesuai aturan KUHAP yang berlaku. Surat Telegram Panglima TNI (ST/1221/2021) ini akan menghambat penegakan hukum itu sendiri. Walaupun Panglima TNI kala itu Marsekal (Purn) Hadi Tjahjanto telah menerangkan bahwa ST tersebut hanya berlaku jika prajurit TNI dimintai keteranggannya oleh aparat penegak hukum (mengutip CNNIndonesia.com), begitu juga pernyataan Panglima TNI selanjutnya Jendral TNI (Purn) Andika Perkasa bahwa TNI tidak menutup diri terlebih menutup pemeriksaan (http:www.kompas.tv). Namun perlu kita menyadari apa yang di ucapkan oleh Han Kelsen bahwa : “Pidato umum dan pemikiran politik non ilmiah akan membingungkan konsep hukum dan keadilan” Tentunya semua pernyataan politis dua eks Panglima tersebut tidak memiliki kepastian hukum disebabkan itu pandangan pribadi yang tidak menjadi bagian subtansi dari Surat Telegram Panglima TNI (ST/1221/2021).
Penelitian Gabungan Intelijen AS dalam buku “THE MILITARY AND DEMOCRACY IN INDONESIA : Challenge, Politics, and Power”, 2002 (Angel Rabasa dan John Haseman) untuk kepentingan AS dan negara tetangga di Indonesia mengatakan bahwa; demokrasi Indonesia akan kembali ke era kediktatoran yang disebabkan oleh beberapa indikator, dimana salah satunya ialah kurangnya APBN negara sehingga Militer diberikan kebebasan untuk terlibat dengan bisnis sehingga terlibat dalam korupsi. Penelitian ini belum dapat dibantah oleh TNI secara Ilmiah, bahkan Korupsi Dana ASABRI seolah-olah telah menguatkan penelitian yang dibiayai oleh Smith Richardson Foundation didalam Pusat Kebijakan Keamanan Nasional (NSRD) RAND ini.
Tentunya, tidak dapat dihindari bahwa dalam pergaulan sehari-hari dengan tradisi sosiologis masyarakat Indonesia keterlibatan dalam hal ekonomi akan menjadi faktor penentu pelanggran hak-hak sipil akan terjadi layaknya yang masih segar diingat di era orde sebelum reformasi. Secara sejarah pula bahwa konflik antara anggota militer dan anggota TNI telah menjadi trauma dan ketakutan masyarakat sipil tersendiri.
Kesimpulannya pertama; dihimbau kepada masyarakat sipil harus mendorong terus agar DPR melakukan perbaikan aturan hukum khsusus bagi TNI, kedua; panglima TNI saat ini kira dapat memperbaiki redaksi ST tersebut agar lebih spesifik, rigit, dan tertutup sehingga potensi hambatan pada polri dalam melakukan penyelidikan, penyidikan suatu kasus yang bila melibatkan prajurit TNI tidak menjadi hambatan “Obstraction of Justice” (tidak diatur oleh KUHP namun diatur pada Pasal 21 UUTIPIKOR), terakhir; Polri mampu melakukan perbaikan internal untuk menjadi pelayan masyarakat yang profesional.