Fusilatnews – Presiden Prabowo Subianto tampaknya ingin memberi pesan jelas sejak awal masa pemerintahannya: negara harus kembali berdaulat atas sumber daya alamnya. Ia memerintahkan TNI, Polri, Kejaksaan Agung, hingga Bea Cukai untuk “turun gunung” memberantas tambang ilegal yang selama ini menjadi hantu ekonomi nasional. Perintah itu bukan basa-basi. Ia meluncur dalam nada tegas, lengkap dengan angka kerugian negara yang disebut mencapai ratusan triliun rupiah.
Namun di balik ketegasan itu, tersimpan lapisan persoalan yang jauh lebih kompleks: tumpang tindih kepentingan, patronase ekonomi, dan politik sumber daya alam yang sudah berurat-akar.
Tambang ilegal di Indonesia bukan sekadar pelanggaran administratif. Ia telah menjelma menjadi ekosistem gelap yang melibatkan aparat, politisi, hingga tokoh lokal. Data Bareskrim Polri menyebut ada 1.517 titik pertambangan tanpa izin di 35 provinsi. Dari Sumatera Utara yang menjadi sarang terbesar dengan 396 lokasi, hingga Bangka Belitung dengan 116 titik tambang timah ilegal. Sebagian di antaranya ‘dibekingi’ oleh oknum aparat dan elite politik.
Dengan kenyataan seburuk itu, perintah Prabowo untuk memberantas tambang ilegal terdengar seperti langkah berani—atau justru nekat. Sebab musuh yang dihadapinya bukan hanya para penambang kecil, melainkan jaringan besar yang sudah lama beroperasi di bawah lindungan kekuasaan.
Di sisi lain, langkah ini juga berpotensi menjadi simbol politik. Bagi Prabowo, yang selama ini dikenal sebagai figur militer dengan reputasi keras, pemberantasan tambang ilegal bisa menjadi ajang pembuktian bahwa kekuasaan di tangannya bukan sekadar pewarisan dari Jokowi, melainkan pembalikan arah terhadap tata kelola sumber daya yang selama satu dekade terakhir dibiarkan liar. Ia tampak ingin membangun citra sebagai “presiden yang mengembalikan kedaulatan negara atas tanah dan tambang.”
Pembentukan Satgas Halilintar di Bangka Belitung adalah contoh konkret dari strategi tersebut. Satgas ini melibatkan TNI secara langsung—sebuah langkah yang menandai kembali menguatnya peran militer dalam urusan sipil. Bagi sebagian kalangan, hal itu bisa dimaknai sebagai bentuk efektivitas; tapi bagi pengkritik, ini tanda kemunduran: negara kembali menyerahkan urusan hukum dan pengawasan pada pendekatan koersif ketimbang reformasi sistemik.
Masalahnya, tambang ilegal bukan hanya soal keamanan, melainkan tata kelola. Selama regulasi lemah, tumpang tindih izin dibiarkan, dan harga komoditas dunia terus menggoda, praktik tambang ilegal akan sulit hilang. Apalagi jika sebagian keuntungan justru mengalir ke kantong politik lokal—sebuah rahasia umum yang jarang dibuka terang-terangan.
Pernyataan Dirjen Gakkum Kementerian ESDM, Rilke Jeffri Huwae, seolah menegaskan batas kewenangan yang rapuh. Kementerian, katanya, hanya mengurusi aspek administratif, bukan “bekingan” di lapangan. Ini menunjukkan adanya jarak antara otoritas teknis dan kekuatan politik-ekonomi di sektor pertambangan. Ketika aparat negara hanya mampu menertibkan di atas kertas, pelaku tambang ilegal sudah lebih dulu menambang realitas di bawah tanah.
Dalam konteks ini, langkah Prabowo untuk menggerakkan seluruh aparat bisa dibaca sebagai bentuk koreksi terhadap warisan Jokowi yang dianggap permisif terhadap eksploitasi sumber daya. Tapi apakah kebijakan ini akan efektif? Itu bergantung pada seberapa jauh ia berani menyentuh jantung masalah: jaringan patronase yang melibatkan elite daerah, oknum aparat, dan pebisnis besar yang selama ini hidup dari tambang ilegal.
Pemberantasan tambang ilegal bisa menjadi titik awal reformasi tata kelola sumber daya alam, atau justru panggung politik baru untuk menegaskan kekuasaan. Sejarah akan mencatat, apakah Prabowo benar-benar hendak “membersihkan negeri” atau sekadar menggunakan retorika tambang untuk menggali legitimasi politiknya sendiri.

























