Oleh: Karyudi Sutajah Putra
Jakarta, Fusilatnews – Hakim Tunggal Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat, Eman Sulaeman mengabulkan gugatan praperadilan yang diajukan Pegi Setiawan, tersangka kasus pembunuhan Muhammad Rizky Rudiana dan Vina Dewi Arsita di Cirebon, Jawa Barat, tahun 2016 silam.
“Permohonan dari pemohon praperadilan seluruhnya dikabulkan,” kata Eman Sulaeman dalam putusan yang dibacakan hari ini, Senin (8/7/2024), seperti dikutip banyak media.
Eman Sulaeman menyatakan, penetapan Pegi sebagai tersangka oleh Kepolisian Daerah (Polda) Jawa Barat tidak sah secara hukum. Eman kemudian memerintahkan Polda Jawa Barat untuk membebaskan Pegi dari tahanan.
Diminta komentar soal bebasnya Pegi, Ketua Indonesia Police Watch (IPW) Sugeng Teguh Santoso mengapresiasi keputusan tersebut dan menilainya sebagai angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia.
“IPW mengapresiasi. Itu angin segar bagi penegakan hukum di Indonesia,” kata Sugeng Teguh Santoso dalam pesan suara yang diterima Fusilatnews.com, Senin (8/7/2014).
Ia kemudian berharap hakim-hakim di Indonesia punya independensi dan integritas seperti yang sudah ditunjukkan oleh Eman Sulaeman dalam memeriksa dan mengadili suatu perkara.
“IPW berharap hakim-hakim di Indonesia memiliki integritas dan independensi dalam memeriksa dan mengadili perkara. Tidak mudah diintervensi melalui pendekatan oleh sesama penegak hukum, baik polisi maupun jaksa,” jelasnya.
Putusan dalam perkara ini, di mana Hakim Tunggal Eman Sulaeman mengabulkan permohonan Pegi, menurut Sugeng, salah satu faktornya adalah tekanan publik yang besar sehingga pengadilan merasa dikonttol.
“IPW ragu apabila pada kasus yang sama pada peristiwa yang berbeda akan diputuskan seperti ini,” cetus nya.
Yang kedua, kata Sugeng, putusan tersebut menggunakan dasar yang sama seperti ketika PN Jakarta Selatan mengabulkan permohonan calon Kapolri saat itu, Komjen Budi Gunawan yang ditetapkan tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), yang menyatakan seorang calon tersangka harus diperiksa lebih dulu sebagai saksi sebelum ditetapkan sebagai tersangka.
“Ada kesalahan prosedur, Pegi ditangkap dulu baru ditetapkan sebagai tersangka,” tukasnya.
Terkait dua alat bukti, kata Sugeng, memang alat buktinya pun lemah. “Sejak awal kasus ini penuh kontroversi. Kasus yang terjadi tahun 2016 ini sebetulnya dilihat sebagai kasus yang ada kesalahan prosedur tapi sudah terlanjur diputus bersalah oleh pengadilan,” sesalnya.
“Putusan perkara delapan orang dalam kasus Vina dan Eky ini menunjukkan penegak hukum kita tidak mengedepankan kebenaran materiil, dan juga tidak peka pada situasi di mana terdakwa menyatakan dianiaya. Ini sudah dikoreksi dalam putusan praperadilan Pegi di PN Bandung,” lanjutnya.
IPW berharap polisi tetap semangat mengusut kasus ini, bahkan kalau perlu mengungkap siapa pelaku pembunuhan Vina-Eky sesungguhnya.
Pegi, kata Sugeng, juga berhak mendapatkan ganti rugi sebagai korban salah tangkap. “Untuk menegakkan keadilan, Pegi berhak atas ganti rugi terkait dengan penangkapan dan penahanannya, kehilangan kebebasannya serta nama baiknya. Sebab itu, Pegi berhak atas ganti rugi,” tegasnya.
“Ini pelajaran berharga bagi kepolisian,” tambahnya.
Ditanya siapa yang salah dan gagal dalam kasus penetapan Pegi sebagai tersangka ini, menurut Sugeng, bukan hanya Direktur Kriminal Umum (Dirkrimum) Polda Jabar yang gagal, melainkan juga institusi Polri, karena kasus ini diasistensi dan disupervisi Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Mabes Polri.
“Kegagalan ini bukan hanya kegagalan Dirkrimum Polda Jabar, tapi juga institusi Polri karena proses ini diasistensi dan disupervisi Bareskrim Polri,” tukasnya.
Sebab itu, kata Sugeng, yang harus menjadi atensi Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo adalah bagaimana memastikan semua penegakan hukum oleh Polri berjalan akuntabel, dalam hal ini profesionalismenya tinggi, transparan dan mengedepankan prinsip-prinsip keadilan. Polri harus berintrospeksi agar dalam penegakan hukum selalu akuntabel,” tandasnya.