Oleh: Damai Hari Lubis – Pengamat Hukum & Politik Mujahid 212 dan Eggi Sudjana, Ketua TPUA
Taktik Politik Jokowi: Antara Ketidaklengkapan dan Dugaan Korupsi Hukum
Presiden Joko Widodo dikenal sebagai pemimpin dengan berbagai tindakan kontroversial yang sulit dipahami dan terkadang bertentangan dengan nalar sehat. Salah satu kontroversi yang melekat padanya adalah tuduhan penggunaan ijazah palsu dari tingkat SD hingga S1 di Fakultas Pertanian Jurusan Kehutanan UGM. Jokowi bahkan telah digugat dua kali di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dan satu kali di PN Surakarta dengan kasus pidana, yang saat ini masih berlangsung di PN Jakarta Pusat.
Di berbagai media sosial, Jokowi dilecehkan sebagai pemilik ijazah palsu, dan masyarakat peselancar media sosial menggugurkannya dengan tudingan bahwa foto pada ijazah S1 bukan Jokowi melainkan almarhum adik iparnya atau eks suami Idayati, istri Anwar Usman mantan Ketua MK yang telah dipecat.
Meskipun banyak tuduhan dan kritik terhadap Jokowi, namun dia tampaknya tidak terganggu dan tidak berupaya membuktikan keaslian ijazahnya. Prof. Amin Rais pernah menyatakan bahwa Jokowi tidak memiliki ijazah, dan Prof. Amin Rais, yang juga Guru Besar SosPol UGM, menyebut Jokowi sebagai “Raja Pembohong Besar.”
Ketika dikritik karena terlibat dalam kampanye pasangan Capres 02 dan partai PSI, Jokowi membela diri dengan membawa kertas yang memuat Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, namun tanpa memberikan informasi lengkap. Dia tampaknya mengabaikan beberapa ketentuan persyaratan yang seharusnya diungkapkan terkait pemenuhan persyaratan tersebut.
Pertanyaan muncul tentang keberadaan Jokowi sebagai anggota tim kampanye dan apakah dia sudah mendaftar ke KPU serta apakah dia menggunakan anggaran pribadinya untuk kampanye. Jokowi juga dituduh menggunakan fasilitas negara selama menjadi Jurkam, dan KPU disorot karena tidak membuka informasi publik terkait eksistensi Jokowi sebagai Jurkam.
Terkait dengan klaim ijasah palsu, Jokowi tampaknya enggan memberikan klarifikasi yang memadai. Publik semakin yakin bahwa ijasah S1 Jokowi adalah palsu, dan pemikiran Prof. Dr. Amin Rais terbukti mewakili banyak yang meyakini bahwa Jokowi adalah “Raja Pembohong Besar.”
Terkait sidang di PN Jakarta Pusat yang sedang berlangsung, publik berharap agar Jokowi dapat mempertanggungjawabkan dirinya atas semua tuduhan dan penyimpangan perilakunya selama berkuasa. Munculnya pertanyaan mengapa Jokowi tidak mau mengklarifikasi ijasah aslinya di Fakultas Kehutanan UGM menjadi tanda tanya besar bagi publik.
Melaksanakan pemilu yang Jurdil sesuai sistem hukum tentang pemilu, justru KPU. malah melakukan pelanggaran bersama-sama dengan Jokowi!?
Jokowi tetap bersikeras membuktikan bahwa dirinya tidak berbohong, mengklaim bahwa semua ijazah yang dimilikinya dan digunakan adalah asli, bukan palsu. Meskipun dikritik oleh masyarakat karena membela pasangan capres 02 (Prabowo dan Gibran anaknya), Jokowi menunjukkan ketidaklengkapan dan ketidakkonsistenannya ketika membawa karton yang berisi Pasal 281 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sebagai pembelaan diri.
Pasal 281 tersebut menegaskan bahwa kampanye pemilu yang melibatkan pejabat negara, termasuk Presiden, harus memenuhi beberapa ketentuan, seperti tidak menggunakan fasilitas jabatannya, menjalani cuti di luar tanggungan negara, dan ketentuan lainnya yang diatur oleh Peraturan KPU. Jokowi memilih untuk melewatkan beberapa persyaratan tersebut, yang menimbulkan dugaan bahwa ia dengan sengaja mengabaikan aturan.
Dalam konteks asas transparansi dan akuntabilitas, Jokowi tidak memberikan informasi lengkap terkait statusnya sebagai anggota tim kampanye, apakah sudah mendaftar ke KPU, dan apakah menggunakan anggaran pribadinya untuk kampanye. Juga, terkait dengan Pasal 304 UU Pemilu, publik berharap untuk mendapatkan klarifikasi apakah Jokowi menggunakan sarana fasilitas negara dan sarana mobilitas selama menjadi Jurkam, serta apakah memanfaatkan fasilitas milik negara seperti gedung istana dan rumah dinas, dengan memperhatikan prinsip keadilan.
Selain itu, KPU sebagai penyelenggara pemilu turut disorot karena belum mempublikasikan informasi terkait eksistensi Jokowi sebagai presiden yang terlibat dalam kampanye, serta apakah telah memenuhi persyaratan sebagai Jurkam dari paslon dan partai.
Pertanyaan publik semakin meningkat terkait eksposur dan kejelasan hukum pidana, dan banyak yang berharap bahwa Jokowi akan mempertanggungjawabkan dirinya atas tuduhan yang diberikan selama masa kepemimpinannya. Persepsi publik mengenai konspirasi kejahatan politik dan hukum antara KPU dan Jokowi semakin menguat, menggambarkan kondisi yang membingungkan dan menuntut transparansi yang lebih baik dalam sistem politik dan hukum di Indonesia.
Semoga debat capres pada 4 Februari 2024 dapat mengungkapkan kebenaran terkait isu ini dan menyuarakan keprihatinan atas aspek Sumber Daya Manusia (SDM) yang dipimpin oleh seorang presiden dengan ijasah palsu.