Oleh: Entang Sastraatmadja
Hari Tani Nasional yang diperingati setiap 24 September bukan sekadar seremoni. Ia adalah pengingat sejarah ketika negara menetapkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria—sebuah tonggak untuk menegakkan reforma agraria yang adil dan merata. Namun, enam dekade lebih berlalu, cita-cita itu masih jauh dari kenyataan.
Tahun ini, peringatan Hari Tani Nasional digelar pada 20–29 September 2025. Serikat Petani Indonesia (SPI) kembali turun ke jalan, menuntut pemerintah segera melaksanakan reforma agraria sejati, menyelesaikan konflik agraria yang menahun, serta menghadirkan kesejahteraan nyata bagi petani.
Tuntutan SPI mencakup:
- Penyelesaian konflik agraria yang terus membelit petani.
- Pelaksanaan reforma agraria yang sesungguhnya.
- Terwujudnya kedaulatan pangan yang berpihak pada petani.
- Revisi regulasi agraria dan pangan agar lebih adil.
- Penguatan hak dan peran masyarakat adat dalam mengelola sumber daya alam.
CNN Indonesia mencatat, ribuan petani akan memperingati Hari Tani Nasional dengan aksi serentak di berbagai daerah. Tak kurang dari 12 ribu petani akan bergerak menuju Jakarta, sementara 13 ribu lainnya berunjuk rasa di wilayah masing-masing. Mereka menyoroti 24 masalah struktural agraria dan sembilan langkah perbaikan yang harus segera dituntaskan pemerintah.
Di sisi lain, pemerintah melalui Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyampaikan narasi yang berbeda. Ia menyebut capaian sektor pertanian melesat. Produksi beras hingga Oktober 2025 diproyeksikan mencapai 34 juta ton, dengan stok beras nasional menembus 4,2 juta ton—tertinggi sejak Indonesia merdeka. Pertanian bahkan menjadi penyumbang pertumbuhan tertinggi PDB pada kuartal I 2025, yakni 10,52 persen year-on-year. Nilai tukar petani (NTP) pun disebut naik signifikan ke angka 123,57, sebuah indikator yang dianggap mencerminkan peningkatan kesejahteraan petani.
FAO pun ikut memberi apresiasi dengan memproyeksikan lonjakan produksi pangan Indonesia hingga 35,6 juta ton, melampaui perkiraan USDA.
Namun, di balik pujian dan angka-angka manis itu, pertanyaan mendasar mencuat: Apakah petani gurem dan buruh tani—yang jumlahnya mayoritas—sudah benar-benar sejahtera?
Kenyataan di lapangan justru menunjukkan paradoks. Meski produksi padi meningkat, sebagian besar petani kecil tetap terjerat dalam lingkaran kemiskinan ekstrem. Mereka hidup pas-pasan, hanya sekadar menyambung hidup dari hari ke hari. Kenaikan NTP tidak otomatis berarti kehidupan mereka membaik.
Paradoks ini menunjukkan betapa pembangunan pertanian masih timpang: produksi naik, tetapi petani tetap merana. Jika pengelolaan pertanian dijalankan dengan tata kelola yang berpihak, seharusnya peningkatan produksi beriringan dengan peningkatan kesejahteraan petani. Sayangnya, yang terjadi justru sebaliknya: negara dipuji, rakyat tani tetap jadi korban pembangunan.
Dirgahayu Petani Indonesia!
(Penulis adalah Ketua Dewan Pakar DPD HKTI Jawa Barat)