Oleh: Nazaruddin
Pembentukan Tim Transformasi Reformasi Polri oleh Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo seharusnya menjadi kabar baik. Namun alih-alih menumbuhkan harapan, langkah ini justru melahirkan pertanyaan besar: siapa yang sebenarnya memegang kendali agenda reformasi? Presiden Prabowo atau Polri itu sendiri?
Ada dua kemungkinan. Pertama, bila ini murni inisiatif Kapolri, maka jelas Presiden Prabowo gagal mengendalikan institusi yang seharusnya tunduk pada garis komando tertinggi negara. Reformasi yang ia janjikan sejak awal kekuasaan, runtuh bahkan sebelum dimulai.
Kedua, bila pembentukan tim ini justru restu presiden, maka janji reformasi tak lebih dari gimmick politik. Bagaimana mungkin reformasi dijalankan oleh institusi yang justru menjadi objek reformasi? Itu ibarat meminta terdakwa menjadi hakim dalam perkaranya sendiri—hasilnya pasti penuh rekayasa dan hampa substansi.
Publik tentu belum lupa: Prabowo pernah menjanjikan pembentukan komisi independen yang transparan dan akuntabel. Faktanya, hingga kini bayangan komisi itu tak juga terlihat. Yang muncul justru tim internal bentukan Polri sendiri. Sulit berharap lahirnya perubahan sejati bila semua proses tetap dikuasai oleh lingkaran yang dipersoalkan.
Kondisi ini berbahaya. Jika presiden membiarkan Polri mengatur “reformasi” dirinya sendiri, maka yang terjadi bukan perbaikan, melainkan sekadar pemolesan citra. Dan bila Prabowo memang merestui langkah ini, publik berhak menyimpulkan: ia tak pernah serius membenahi Polri.
Pertanyaan akhirnya sederhana tapi menohok: masih layakkah rakyat menaruh harapan pada Prabowo? Jawabannya bergantung pada keberanian presiden. Beranikah ia menyerahkan reformasi kepada komisi independen yang sungguh-sungguh bebas dari intervensi Polri? Atau justru membiarkan rakyat terjebak dalam sandiwara politik murahan?
Jika yang terakhir terjadi, satu hal pasti: reformasi Polri hanyalah pepesan kosong.