Oleh: Damai Hari Lubis, Sekretaris Dewan Kehormatan DPP KAI
Apa yang disebut dengan Saksi Mahkota adalah istilah yang pernah digunakan oleh masyarakat hukum yang berprofesi di ruang lingkup badan peradilan dalam perkara pidana (Hakim, Jaksa, Advokat, serta Penyidik Polri) di tanah air.
Sebagai catatan, narasumber pernah menegur JPU saat persidangan Bambang Tri Mulyono/BTM dan Gus Nur karena JPU menyebut akan mengajukan “Saksi Mahkota”.
Narasumber menyatakan bahwa JPU sebagai penegak hukum tidak pantas menggunakan istilah hukum yang salah, terlebih di depan publik ruang sidang. Narasumber menjelaskan bahwa KUHAP tidak mengenal istilah Saksi Mahkota, dan negara penggunanya hanya satu di dunia, yakni Italia. Adapun di Amerika, terdapat ketentuan yang seolah identik dengan Saksi Mahkota, namun hanya ada dalam film.
Ketua Majelis Hakim kemudian membenarkan argumen narasumber dan menyampaikan agar JPU tidak menggunakan istilah Saksi Mahkota.
Istilah Saksi Mahkota memang tidak sepatutnya digunakan, terutama oleh kalangan yang berprofesi di bidang hukum. Saksi Mahkota yang sebenarnya hanya ada di Italia, karena sejarah keberadaan para bandit atau mafioso yang dikenal sangat brutal sehingga meresahkan masyarakat umum dan penguasa di republik Italia. Dalam praktiknya, para mafioso tidak segan-segan saling bunuh di antara kelompok gangster, termasuk membunuh penentang mereka dari kalangan politisi, jaksa, jurnalis, dan aparatur pemerintah Italia.
Para mafia atau mafioso, juga dikenal sebagai La Cosa Nostra (bahasa Italia: “Hal Kami” atau “urusan kami”), adalah panggilan kolektif untuk beberapa organisasi rahasia mafia di Sisilia dan Amerika Serikat. Mafia Cosa Nostra menyusup ke politik, termasuk menjadi anggota kepolisian dan parlemen lokal di Italia, juga pada tingkat nasional, serta di Amerika Serikat.
Bisnis mereka mencakup kartel ilegal seperti narkoba/kokain, rokok ke luar negeri, penyelundupan orang, pemerasan pejabat, perdagangan senjata, alkohol, senjata, hingga prostitusi dan pencurian barang seni.
Praktik Hukum Saksi Mahkota di Italia
Karena kebrutalan Para Mafioso Italia, yang sudah sangat mengerikan, petugas kepolisian dan pemerintahannya kesulitan untuk menangkap para pimpinan tertinggi Mafioso karena membutuhkan bukti-bukti dan saksi-saksi. Di antara gangster (Para TSK/TDW) diajak bekerja sama untuk pengungkapan data dan fakta hukum. Anggota yang bersedia bekerja sama dengan pihak kepolisian Italia kemudian disebut sebagai Saksi Mahkota, sehingga akhirnya terkait Saksi Mahkota dimaksud absah sebagai ketentuan yang berlaku (legalitas), dilengkapi legal guarantee pembebasan dari tuduhan dan bebas dari ancaman hukuman, berikut implementasi penggantian biografi/identitas (nama baru) bagi si Saksi Mahkota. Mereka juga diberikan paspor, bahkan operasi wajah, serta ditawarkan pindah ke kota lain di Italia atau imigrasi keluar dari negara mereka, serta dijamin keselamatan dirinya beserta keluarganya.
Saksi a de charge dan a charge dalam KUHAP
Dalam hukum pidana formil (KUHAP) Undang-Undang RI Nomor 8 Tahun 1981, ada penyebutan tentang saksi yang meringankan terdakwa/TDW yang biasa disebut sebagai saksi “a de charge.”
Saksi a charge, yang memberikan kesaksian di hadapan majelis persidangan, adalah saksi yang memberatkan tuduhan terhadap pelaku atau TDW.
Saksi a charge wajib disumpah di hadapan hakim di persidangan atas kebenaran apa yang ia sampaikan dan disertai bukti BAP saat memberikan kesaksian di kepolisian. Demikian pula dengan saksi a de charge yang juga mesti disumpah sebelum memberikan kesaksian di persidangan, namun tidak harus pernah di BAP oleh pihak penyidik Polri, melainkan dimunculkan oleh pihak terdakwa saat di muka majelis hakim persidangan.
Testimonium de auditu
Testimonium de auditu adalah seorang yang juga diawali dengan disumpah di hadapan majelis hakim persidangan sebelum memberikan testimoni atau kesaksian, baik untuk pihak terdakwa maupun dari pihak penuntut umum/JPU.
Walaupun saksi testimonium de auditu tidak melihat langsung terjadinya peristiwa tindak pidana atau delik, namun dirinya mendengar langsung dari saksi yang mengetahui dan melihat langsung terjadinya delik. Kesaksian dari saksi testimonium de auditu juga merupakan bagian dari kesaksian unsur hukum pidana formil/hukum acara pidana, namun bukan berasal dari isi KUHAP, melainkan lahir dari sebuah putusan final and binding mahkamah konstitusi/MK.
Saksi Mahkota versi Italia, kategori sebenarnya sesuai isi KUHAP, merupakan salah seorang dari beberapa TSK atau TDW lainnya.
Secara otomatis, jika istilah “Saksi Kunci,” yang dipersepsikan oleh kalangan hukum (Penyidik, Jaksa, Hakim, dan Advokat/Pengacara) sebagai yang juga merupakan salah seorang TSK/TDW, maka kata atau kalimat “Saksi Kunci” pun tidak terdapat di dalam hukum acara pidana (KUHAP).
Apakah ada negara-negara yang meniru hukum acara pidana terkait Saksi Mahkota versi Italia? Jawabannya “ada,” bahkan termasuk Indonesia, Amerika, dan Australia. Namun, penerapannya tidak sama persis dengan di Italia.
Di Indonesia, metode sistem hukumnya diimplementasikan sebagai Justice Collaborator (JC). Penggunaan JC sudah diatur dalam hukum positif. Peran dan kedudukan JC ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang dalam perkembangannya telah diubah dengan Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Kemudian, JC juga diatur dalam Surat Edaran MA Nomor 4 Tahun 2011, yang merupakan Peraturan Bersama Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, Kapolri, KPK, dan LPSK tentang Perlindungan Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Kolaborasi. Namun, semua undang-undang positif tersebut belum mampu memberikan kejelasan dan kepastian mengenai kedudukan dan peran dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Dan yang terpenting adalah tidak dihapuskannya hukuman kepada saksi JC, melainkan sekedar keringanan atau hukuman yang harus di bawah pelaku lain.
Contoh kasus adalah peristiwa pembunuhan yang dilakukan Irjen Polisi/DAN PROPAM Ferdy Sambo terhadap bawahannya, Nofriansyah Joshua Hutabarat (Brigadir J). Dalam kasus ini, Richard Eliezer Pudihang Lumiu adalah saksi JC yang diperintahkan sebagai eksekutor oleh Irjen Pol DAN Propam Polri Sambo.
Saksi Kunci
Adapun kata “kunci” melahirkan pemahaman sebagai alat pembuka pandora dengan konotasi seolah sebagai satu-satunya, lalu bakal “dipaksakan” dengan segala cara agar benda yang menyerupai “kotak pandora dapat terbuka”, sebuah proses yang tidak berkesesuaian dengan sistem hukum. Panduan untuk investigasi bagi para penyidik demi dapat mengungkap keadaan yang sebenarnya (materiele warheid) tidak boleh bersikap memaksa baik verbal, terlebih secara fisik. Semua pola investigasi harus merujuk atau bersumber dari sistem hukum pidana formil (KUHAP).
Dikhawatirkan jika menggunakan istilah Saksi Kunci, seolah membutuhkan upaya rekayasa, model persepsi (tuduhan) publik nakal, yang justru mengarah pada rekayasa tuduhan terhadap bukan pelaku delik (pleger). Ini mirip dengan data empiris peristiwa hukum yang dialami oleh Sengkon dan Karta yang akhirnya bebas setelah mengajukan PK dan telah dipenjara belasan tahun, atau saat ini ada tuduhan cukup tendensius dari publik terhadap adanya rekayasa dari para oknum aparatur terkait Pegi yang kini sedang mengupayakan Pra Peradilan terkait tuduhan dalam peristiwa pembunuhan dan perkosaan Eki dan Vina di Cirebon pada tahun 2016 yang kembali heboh pada tahun 2024 setelah adanya film layar lebar tentang pelaku terhadap korban Eki dan Vina yang masih buron atau DPO.
Elegan, jika para aparatur hukum, yakni para hakim, jaksa, advokat, penyidik, serta masyarakat umum, khususnya terhadap istilah hukum, harus mematuhi sebutan istilah hukum sesuai yang dinyatakan oleh sistem konstitusi (KUHAP) dan sistem hukum lainnya yang bersifat positif atau ius konstitum.
Penegak hukum justru jangan membiasakan membuat istilah keliru (bahkan blunder) terhadap analogi hukum yang bakal menyesatkan publik. Walau sekedar merusak istilah, namun ternyata akhirnya
(lama kelamaan) dapat merusak isi dan makna aparatur hukum selaku penegak hukum, namun kontra produktif, malah punya hobi melanggar hukum dan memperkosa hak-hak azasi WNI yang tidak bersalah.