Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Pegiat Media
Jakarta, Fusilatnews – Wartawan ternyata menjadi semacam profesi kutukan. Hanya orang-orang idealis, nekat, kepepet atau terpaksa karena tidak ada pekerjaan lain saja yang memilih wartawan sebagai profesi. Betapa tidak?
Profesi wartawan memang keren dan mentereng. Nasida Ria, grup musik gambus asal Semarang, Jawa Tengah, pernah menyebut wartawan sebagai “Ratu Dunia”. Entah apa maksudnya.
Ada pula yang menyebut pena wartawan lebih tajam daripada seribu bayonet tentara. Entah apa pula maksudnya.
Wartawan juga punya undang-undang khusus yang disebut sebagai “lex specialis”, yakni Undang-Undang (UU) No 40 Tahun 1999 tentang Pers.
Dan ini yang paling keren: pers adalah pilar keempat demokrasi setelah trias politika: eksekutif, legislatif dan yudikatif.
Tapi itu semua “bulshit” alias omong kosong belaka jika wartawan dihadapkan pada problem kesejahteraan, beban kerja, dan risiko kerja.
Dari sisi kesejahteraan, berdasarkan survei Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia banyak wartawan yang mengalami pemotongan gaji, gaji di bawah Upah Minimum Kabupaten/Kota (UMK), tidak mendapat Tunjangan Hari Raya (THR) secara penuh, bahkan ada yang tidak mendapat THR, dan tidak mendapat jaminan sosial tenaga kerja.
Kesejahteraan yang rendah tersebut hanya sebagian dari sejumlah masalah lainnya, yakni beban kerja yang berat, ketidakberlanjutan karier, dan ancaman atau risiko yang dihadapi wartawan dalam bekerja menjalankan profesinya.
Baru saja terjadi, sejumlah wartawan mengalami kekerasan fisik saat meliput sidang vonis terdakwa korupsi mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL) di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat, Kamis (11/7/2024). Pelaku dalam kericuhan itu adalah oknum-oknum ormas pendukung SYL.
Sebelumnya di Kabanjahe, Karo, Sumatera Utara, rumah wartawan Tribrata TV, Rico Sampurna Pasaribu dibakar orang tak dikenal yang menewaskan Rico, istri, anak dan cucunya. Tiga orang telah ditetapkan tersangka. Namun aktor intelektual belum tersentuh.
Sebelumnya lagi, rumah seorang wartawan berinisial LS di Pancur Batu, Deli Serdang, juga Sumut, dilempar bom molotov hingga pintunya terbakar. Dua orang telah ditetapkan tersangka.
Dua kasus ini motifnya sama, yakni terkait judi yang gencar diberitakan oleh dua wartawan tersebut.
Sejak Januari hingga Juli 2024, AJI Indonesia menerima setidaknya 33 laporan kasus kekerasan terhadap wartawan yang terjadi di Indonesia. Jumlah ini bisa lebih banyak karena adanya beberapa kekerasan yang tidak terlaporkan.
Dikutip dari sejumlah sumber, AJI Indonesia mencatat, ada 87 kasus kekerasan terhadap wartawan di Indonesia sepanjang tahun 2023. Jumlah tersebut meningkat 42,62% dibandingkan pada tahun sebelumnya yang sebanyak 61 kasus.
Berdasarkan kasusnya, kekerasan terhadap wartawan paling banyak berupa kekerasan fisik, yakni 18 kasus, kemudian 14 kasus serangan digital.
Kasus kekerasan berupa ancaman serta teror dan intimidasi terhadap wartawan sama-sama sebanyak 12 kasus. Lalu, 11 kasus dalam bentuk pelarangan liputan.
Penghapusan hasil liputan wartawan tercatat ada enam kasus. Ada pula kekerasan seksual berbasis gender serta kasus perusakan atau perampasan alat yang sama-sama sebanyak lima kasus.
Kasus berupa penuntutan hukum terhadap wartawan ada empat kasus. Lalu kasus pelecehan wartawan tercatat satu kasus.
Menurut pelakunya, 17 kasus kekerasan terhadap wartawan diduga dilakukan oleh polisi. Sebanyak 13 kasus kekerasan terhadap wartawan diduga dilakukan oleh warga.
Ada pula 12 kasus yang diduga dilakukan oleh aparat pemerintah. Kemudian kekerasan terhadap wartawan oleh perusahaan ada tujuh kasus.
Kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh ormas, pekerja profesional, dan TNI sama-sama sebanyak empat kasus. Lantas dua kasus kekerasan terhadap wartawan yang dilakukan birokrat.
Sementara kasus kekerasan yang diduga dilakukan oleh jaksa dan oknum partai politik sama-sama sebanyak satu kasus. Sebanyak 23 kasus dilakukan orang tidak dikenal.
Kasus kekerasan terhadap wartawan lima tahun sebelumnya adalah tahun 2022 sebanyak 60 kasus, tahun 2021 sebanyak 43 kasus, tahun 2020 sebanyak 84 kasus, dan tahun 2019 sebanyak 58 kasus.
Yang paling fenomenal dan hingga kini masih menyisakan misteri adalah kasus kekerasan terhadap wartawan Bernas di Bantul, DI Yogyakarta, tahun 1996 lalu. Korbannya adalah Fuad Muhammad Syafruddin alias Udin. Namun hingga kini pelaku sesungguhnya pembunuh Udin belum terungkap.
Selain mengutamakan kebenaran, pers juga bertanggung jawab dan melayani publik. Bagaimana bisa wartawan melayani publik secara mandiri jika ia masih tak sejahtera dan tergantung kepada pihak lain, dan juga kerap mendapatkan kekerasan?
Dari sisi kebebasan pers, berdasarkan data Reporters Without Borders, Norwegia menduduki peringkat pertama dalam Indeks Kebebasan Pers Dunia 2024, disusul berturut-turut Denmark, Swedia, Belanda, Finlandia, Estonia, Portugal, Irlandia, Swiss, dan Jerman.
Timor Leste berada pada peringkat ke-20, Amerika Serikat (AS) ke-55, Thailand ke-87, Israel ke-101, Malaysia ke-107, Indonesia ke-111, Singapura ke-126, Rusia ke-162, Arab Saudi ke-166, China ke-172, Iran ke-176, dan Korea Utara ke-177.
Alhasil, sekali lagi, hanya orang-orang idealis, nekat, kepepet, atau terpaksa karena tidak ada pekerjaan lain saja yang memilih wartawan sebagai profesi. Sebab, wartawan menjadi semacam profesi kutukan.