Oleh : Malika Dwi Ana
Kereta Cepat Jakarta-Bandung (KCJB), atau yang populer disebut Whoosh, bukan sekadar proyek infrastruktur. Ia adalah bom waktu ekonomi dan geopolitik yang ditinggalkan era Jokowi untuk pemerintahan Prabowo Subianto. Dengan utang USD 7,3 miliar ke China Development Bank (CDB) pada bunga 3,4%, kerugian operasional Rp1,6 triliun per tahun, dan pendapatan tiket maksimal Rp1,5 triliun, Whoosh lebih mirip monumen kesia-siaan ketimbang kebanggaan nasional. Mahfud MD, eks-Menko Polhukam, menyalakan api kontroversi tentang; Dugaan mark-up biaya hingga tiga kali lipat (USD 52 juta/km di Indonesia vs. USD 17-18 juta/km di China) menyeret proyek ini ke ranah korupsi sistemik. Prabowo, yang baru setahun dua hari dilantik pada 20 Oktober 2025, sudah dipaksa main akrobat: Menyelamatkan Whoosh tanpa merugikan rakyat, sambil hadapi tekanan China dan elite lokal yang “bermain” di belakang layar. Ini bukan soal kereta, ini soal kedaulatan.
Kronologi Skandal: Dari Mimpi Jokowi ke Beban Prabowo
Whoosh lahir dari ambisi Jokowi 2015: Kereta cepat pertama di Asia Tenggara, simbol Indonesia maju. Awalnya, Jepang menawarkan pinjaman lunak 0,1% tanpa jaminan APBN. Tapi, entah kenapa—atau kita tahu kenapa—Jokowi pindah ke China. Bunga melonjak ke 3,4%, MOU buram, dan biaya membengkak dari USD 5,1 miliar ke USD 7,3 miliar. Ignasius Jonan, eks-Menhub yang tolak proyek karena “tidak viable,” dilengserkan. Luhut Binsar Pandjaitan, Ketua DEN kala itu, dorong penuh—meski bisnis keluarganya di infrastruktur BRI China mengundang tanda tanya. Mahfud MD bilang terang-terangan: Mark-up ini rahasia umum, MOU bilateral jelas sebut harga, tapi cicilan berjalan penuh “misteri.” KPK diminta usut, tapi hingga 22 Oktober 2025, baru meminta data Mahfud—KPK lambat, seperti biasa.
Netizen ramai dengan hestek #WhooshGate, 70% responden Kompas (2025) sebut proyek ini rugikan rakyat. Hemat waktu cuma 30 menit dibandingkan Argo Parahyangan, tapi beban utang Rp2 triliun bunga per tahun? Ini bukan proyek, ini jebakan. Prabowo, dengan Menkeu Purbaya Yudhi Sadewa dan Menko Perekonomian AHY, tegas tolak talangi via APBN. Danantara, SWF baru, sedang nego restrukturisasi dengan CDB—target bunga 2%, tenor 40 tahun. Tapi China main tahan-tahan, mirip taktik mereka ke Sri Lanka sebelum Hambantota Port direbut 99 tahun.
Pertanyaannya: Berani kah Prabowo main keras, atau terjebak elite pro-China di kabinetnya sendiri?
Elite yang Bisnis dan Konflik Kepentingan: Musuh di Dalam Selimut
Jangan naif. Whoosh bukan sekadar salah hitung. Ini soal elite yang main dua kaki: antara jabatan publik, bisnis privat. Luhut, misalnya, punya jejak bisnis keluarga di PT Toba Sejahtera, terkait proyek BRI China. Konsorsium KCIC (60% BUMN RI seperti KAI, 40% SOE China) rugi Rp1,6 triliun H1 2025, tapi audit transparan? Nol. Banyak pejabat, baik langsung maupun tak langsung, punya kepentingan di investasi China—yang tahun lalu capai Rp500 triliun di Indonesia. Rosan Roeslani, Menko Investasi, sedang nego utang Whoosh, tapi terlambat. Mengapa? Karena BPI Danantara, yang kelola negosiasi, penuh stakeholder BUMN yang terikat dengan China. Ini bukan konspirasi, ini pola: 50% investasi China di RI lewat joint venture dengan elite lokal. Prabowo harus “bersihkan kandang” dulu—pakai UU No. 28/1999 tentang Penyelenggaraan Negara Bersih—sebelum bisa menekan China.
Solusi Radikal: Audit, Hukum, dan Natuna sebagai Leverage
Lalu, apa langkah konkret? Pertama, bentuk tim investigasi independen KPK-BPKP-Kemenkeu, panggil Jonan, Mahfud, bahkan Jokowi. Target: Laporan audit mark-up dalam 3 bulan. Mahfud siap kasih data, tapi KPK harus proaktif, bukan tunggu laporan. Jika bukti mark-up kuat, hukum pelaku domestik via UU Tipikor Pasal 2-3—tak pandang bulu, sekalipun Jokowi terlibat. Ini bukan cuma soal keadilan, tapi amunisi hukum untuk renegosiasi.
Kedua, renegosiasi dengan China. MOU Whoosh jelas sebut harga—mark-up USD 1,2 miliar overrun bukan rahasia bagi CDB. Gunakan bukti KPK untuk tekan bunga ke 1-2%, atau equity swap (China ambil saham KCIC lebih banyak, BUMN lepas beban). Jika China tolak, ancam tarif impor 100-200% untuk tekstil, sepatu, kosmetik—seperti yang sudah diusulkan Zulkifli Hasan (Q1 2026). Ini selamatkan UMKM garmen yang kehilangan 300.000 jobs karena banjir impor China (naik 51% April 2025 akibat perang dagang AS-China). Leverage lain: Natuna. Upgrade pangkalan militer RI di Natuna Besar (anggaran Rp10 triliun 2024-2026) jadi hub maritim Indo-Pasifik, ajak AS dan QUAD+ (Jepang, Australia) latihan ala Garuda Shield 2025. Ini sinyal ke China: Tolak renegosiasi, kita dekatkan diri ke AS di ZEE Natuna, choke point Malaka Strait.
Ketiga, jika semua gagal, jangan “ngemplang” ala Sri Lanka—inflasi 70%, GDP minus 7,8%, dan Hambantota hilang jadi pelajaran. Ajukan arbitrase ke ICSID atau WTO, tuduh China “complicit” dalam konspirasi ekonomi via mark-up Whoosh. Bukti? Vonis KPK terhadap pejabat domestik, ditambah MOU buram. Kasus Siemens v. Argentina di ICSID buktikan: Investasi korup bisa dibatalkan. RI, sebagai anggota BRICS+ (Januari 2025), punya posisi tawar yang lebih kuat.
Jangan Kayak Sri Lanka, Jadilah Indonesia yang Berdaulat
Whoosh bukan cuma kereta, tapi cermin kelemahan kita atas ketergantungan pada China (impor USD 62 miliar 2024), elite yang main bisnis BRI, dan MOU buram tanpa transparansi. Prabowo punya peluang emas: Audit tegas, hukum pelaku, dan mainkan Natuna plus tarif impor sebagai leverage. Jangan biarkan Whoosh jadi Hambantota kedua—aset rakyat dirampas, utang tetap menganga. Alternatif terakhir? Jual Whoosh ke swasta non-China (Jepang pernah minat) atau konversi jadi proyek hijau (solar-powered). Ini bukan cuma soal lunasi utang, tapi selamatkan kedaulatan ekonomi.
Prabowo, rakyat menunggu. Jangan cuma pelototi Whoosh—potong rantai korupsi, tekan China, dan buktikan Indonesia bukan boneka debt trap mereka. #WhooshGate bukan sekadar hashtag, tapi panggilan untuk bertindak. Waktunya main hard core—atau kita semua yang akan bayar mahal harganya.(Malika’s Insight 22/10/2025)

Oleh : Malika Dwi Ana






















