Tim gabungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berhasil membongkar Skandal klaim fiktif dari rumah sakit untuk mendapatkan uang dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Jakarta – Fusilatnews – Dalam diskusi bersama Tim Bersama Penanganan Kecurangan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yanng diselenggarakan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu
Tim gabungan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bersama Kementerian Kesehatan (Kemenkes) berhasil membongkar Skandal klaim fiktif dari rumah sakit untuk mendapatkan uang dari Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS)
Direktur Kepatuhan dan Hubungan Antar Lembaga BPJS Kesehatan, Mundiharno menegaskan dalam skandal ini Badan Penyelenggara Jaminan Kesehatan (BPJS) memastikan tidak ada pegawai BPJS yang terlibat dalam skandal klaim fiktif (phantom billing) oleh rumah sakit (RS).
“Kami harus sampaikan untuk yang kasus ini kami pastikan tidak ada pegawai BPJS kesehatan yang melakukan persekongkolan dengan pihak RS,” kata Mundi dalam diskusi di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jakarta, Rabu (25/7/2024).
Mundi mengungkapkan, dugaan fraud (kerugian) puluhan miliar yang timbul akibat klaim fiktif rumah sakit justru ditemukan pegawai BPJS.
Bahkan, kata Mundi, pegawai BPJS melakukan audit, turun ke lapangan melakukan verifikasi ke pasien sehingga mengungkap modus phantom billing.
“Kalau sampai terjadi ditemukan pegawai yang melakukan itu sudah pasti dikenakan sanksi berat,” ujar Mundi.
Menurut Mundi, BPJS rutin melakukan pengawasan melalui audit internal pengawasan internal (Wasin) dan audit investigatif. Auditor internal maupun auditor investigasi juga telah dilatih oleh lembaga-lembaga yang berwenang.
Mundi menyebut, pihak BPJS justru senang jika dalam kasus-kasus yang merugikan lembaga ditemukan pegawai internal yang terlibat. “Asal ada bukti kita telusuri,” kata Mundi.
Phantom billing tidak bisa dideteksi sistem Mundi menuturkan, BPJS sebenarnya telah memiliki sistem verifikasi berlapis untuk mengantisipasi fraud akibat kecurangan pihak RS.
Sistem tersebut bisa mendeteksi klaim dobel seperti RS mengajukan klaim biaya pasian rawat jalan dan rawat inap sekaligus. “Itu sudah kiat pagari, tertolak oleh sistem kita,” kata Mundi.
Selain itu, BPJS melakukan analisis deteksi melalui verifikasi dan audit administrasi klaim. Tindakan tersebut dilakukan untuk menganalisis data-data yang bersifat anomali sehingga bisa dideteksi lebih lanjut
Meski demikian, Mundi mengakui bahwa sistem BPJS tidak bisa mendeteksi klaim fiktif, manipulasi diagnosis, manipulasi dokumen. “Apalagi phantom (klaim fiktif), itu enggak bisa by system, enggak ada systemnya untuk ngecek ini dokumennya palsu atau enggak, kita belum punya itu,” tutur Mundi.
Adapun tim gabungan ini terdiri dari BPJS, KPK, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), serta Kementerian Kesehatan.
Tim gabungan itu menerjunkan tim untuk memeriksa enam RS di 3 provinsi sebagai sampel, menindaklanjuti temuan dugaan fraud dari laporan BPJS.
Hasilnya, RS A di Provinsi Sumatera Utara (Sumut) diduga melakukan phantom billing dengan nilai kerugian negara Rp 1 miliar sampai Rp 3 miliar
Kemudian, RS B di Provinsi Sumut dengan nilai klaim Rp 4 miliar sampai Rp 10 miliar. Lalu, RS C Provinsi di Jawa Tengah senilai Rp 20 miliar sampai Rp 30 miliar.
Pahala mengungkapkan, rumah sakit tersebut melaporkan dokumen klaim fiktif untuk mendapatkan dana dari BPJS.
Tindakan ini dilakukan dengan rapi mulai dari dokumen kependudukan pasien sampai rekam medis palsu. “Di tiga rumah sakit ada tagihan klaim 4.341 kasus tapi sebenarnya ada 1.000 kasus di buku catatan medis,” kata Deputi Pencegahan dan Monitoring KPK Pahala Nainggolan.
“Jadi sekitar 3.000-an itu diklaim sebagai fisioterapi tapi sebenarnya enggak ada di catatan medis (fiktif),” kata dia.
Menurut Pahala terdapat sejumlah modus kecurangan RS dalam mengeklaim uang dari BPJS, salah satunya adalah phantom billing yang menurutnya merupakan bentuk kecurangan paling parah.
Modus phantom billing, pihak RS mengajukan klaim atas pemeriksaan pasien atau tindakan medis yang sebenarnya tidak ada.
Modus itu dilakukan pihak RS dengan membuat acara bakti sosial untuk mengumpulkan data-data pribadi seperti kartu tanda penduduk, kartu keluarga, dan nomor kartu BPJS.
Para pelaku kemudian membuat data fiktif bahwa seolah-olah pengguna BPJS terjangkit penyakit tertentu sehingga harus diobati
Pihak RS kemudian menerbitkan surat kelayakan untuk memenuhi standar tertentu. Mereka bahkan tidak segan menggunakan data dokter yang tidak lagi bekerja di tempat tersebut.
Mereka mengatur dengan sangat rapi agar pengguna BPJS yang menderita sakit tertentu didukung pendapat medis dokter hingga tindakan-tindakan yang dilakukan.
“Itu benar-benar bagus banget. Jadi dia dengan keluarganya, dokter juga, jadi dokter-dokter itu diagnosisnya sudah mendukung semua lah buat klaimnya,” kata Pahala.
Selanjutnya, pelaku membuat rekam medis, resume medis, catatan program pasien, dan pemeriksaan penunjang. “Itu (dokumen) lengkap semua baru dia sampaikan klaim (ke BPJS),” tutur Pahala.
“Jadi ini memang komplotan beneran,” ujar dia.
Kemudian, modus selanjutnya adalah phantom/manipulation diagnosis, yakni pihak RS mengajukan klaim atas tindakan medis yang telah dimanipulasi. Contohnya, RS mengajukan klaim atas operasi katarak terhadap 39 pasien, padahal hanya 14 pasien yang dioperasi katarak, sisanya merupakan pasien penyakit lain yang telah dimanipulasi.
Modus kecurangan lainnya adalah repeat billing dengan mengajukan klaim yang sama kepada BPJS, tujuannnya agar mendapatkan uang dari BPJS lebih banyak. ,
Pemkot Semarang dan RSWN Luncurkan Aplikasi Wongso Sultan Mataram Pelaku pemilik RS sampai keluarga
Pahala mengungkapkan, setidaknya dari satu rumah sakit yang mengajukan klaim fiktif terdapat 8 orang pelaku, antara lain adalah pemilik RS karena fasilitas kesehatan tersebut berstatus swasta.
“Banyak, dari pemilik, ada keluarganya, dokter, delapan sepertinya, intinya ini enggak mungkin sendiri,” kata Pahala.
Uang panas hasil klaim fiktif kemudian mengalir ke rekening rumah sakit yang dikuasai pemiliknya. Uang tersebut bisa juga mengalir ke para dokter yang diminta untuk membuat dokumen palsu.
“Ya dokternya enggak tahu, kita mesti lihat perannya kayak apa, mungkin dia dibayar sebagai dokter biasa dipaksa cuma bikin dokumen,” tutur Pahala.