Oleh: Karyudi Sutajah Putra, Analis Politik pada Konsultan dan Survei Indonesia (KSI).
Jakarta, Fusilatnews – “Perempuan itu indah sebagai fiksi, tapi berbahaya sebagai fakta.” (Rocky Gerung)
“Semakin cantik seorang perempuan, semakin berbahaya dirinya. (So So dalam film To Liong To)”
Komisi Pemilihan Umum (KPU) punya Ketua. Namanya Hasyim Asy’ari. Tapi ia baru saja dipecat. Digantikan Afifuddin sementara.
Mengapa Hasyim dipecat? Karena Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) membuktikan ia melanggar kode etik. Pasalnya, ia memaksa bersetubuh seorang perempuan berinisial CAT (Cindra Aditi Tejakinkin), anggota Panitia Pemilihan Luar Negeri (PPLN) di Den Haag, Belanda, untuk Pemilu 2024.
Dalam sidang putusan yang dibacakan Ketua DKPP Heddy Lugito, Rabu (3/7/2024), terungkap bahwa Hasyim Asy’ari melakukan pemaksaan hubungan badan kepada CAT di hotel Van der Valk, Amsterdam, Belanda, 23 Oktober 2023.
Dosen Universitas Diponegoro (Undip) Semarang, kelahiran Pati, Jawa Tengah itu pun dinyatakan terbukti melanggar sejumlah ketentuan yang diatur dalam Peraturan DKPP Nomor 2 Tahun 2017 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku Penyelenggara Pemilu.
Hasyim diadukan ke DKPP oleh Lembaga Konsultasi Bantuan Hukum dan Pilihan Penyelesaian Sengketa Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKBH-PPS FH UI) pada Kamis (18/4/2024). Pengaduan juga dilayangkan Lembaga Bantuan Hukum Asosisasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK). Mereka mewakili CAT selalu korban.
Aristo Pangaribuan, kuasa hukum pengadu menyampaikan bahwa dalam keadaan CAT dan Hasyim terpisah jarak, terdapat upaya aktif dari Hasyim secara terus-menerus untuk menjangkau korban.
Ada hubungan romantis, merayu, mendekati untuk nafsu pribadinya. Namun, kata Aristo, tidak ada intimidasi atau pun ancaman dalam dugaan pemanfaatan relasi kuasa yang dilakukan oleh Hasyim.
Tanda tanya pun membuncah. Pertama, dalam putusan disebut, “Hasyim melakukan pemaksaan hubungan badan”.
Namun, menurut kuasa hukum pengadu, tidak ada intimidasi atau pun ancaman dalam dugaan pemanfaatan relasi kuasa oleh Hasyim.
Pertanyaannya: mana yang benar, pemaksaan hubungan badan atau tak ada intimidasi/ancaman?
Kalau memang ada paksaan, mengapa saat terjadi “pemaksaan hubungan badan” itu CAT tidak berontak?
Mengapa pula CAT tidak melaporkan Hasyim ke sekuriti hotel atau polisi setempat, atau polisi Indonesia ketika sedang berada di Indonesia?
Kalaulah hanya menyasar etik, mengapa Hasyim baru diadukan ke DKPP pada 18 April 2024, padahal insidennya terjadi pada 23 Oktober 2023 atau berselang 6 bulan?
Hasyim diketahui pertama kenal CAT pada Agustus 2023. Sejak itu, ia selalu mendekati CAT, baik ketika Hasyim kunjungan kerja ke Belanda atau ketika CAT pulang ke Indonesia.
Hasyim dan CAT juga diketahui pernah jalan bersama di Bali dan juga di Jakarta. Hasyim juga memilihkan apartemen penginapan CAT selama di Jakarta yang dekat dengan apartemennya di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Sampai kemudian setelah insiden di Amsterdam itu terjadi, CAT ke Jakarta untuk menagih janji Hasyim yang katanya mau menikahinya.
Hasyim pun meneken surat perjanjian dengan CAT. Isinya, seperti diungkapkan anggota DKPP Muhammad Tio Aliansyah saat pembacaan putusan, pertama, Teradu (Hasyim) akan mengurus balik nama apartemen atas nama Pengadu (CAT).
Kedua, Teradu membiayai keperluan Pengadu di Jakarta dan Belanda sebanyak Rp30 juta per bulan.
Ketiga, Teradu nemberikan perlindungan dan menjaga nama baik Pengadu seumur hidup.
Keempat, Teradu tidak menikah atau kawin dengan perempuan siapa pun terhitung sejak surat pernyataan dibuat.
Kelima, Teradu menelepon atau berkabar kepada Pengadu minimal satu kali dalam sehari selama seumur hidup.
Saat sidang pembacaan, anggota DKPP Ratna Dewi Petalolo menerangkan, surat perjanjian bermeterai itu diteken Hasyim lantaran CAT pernah mendatanginya ke Jakarta untuk menagih janji dinikahi usai keduanya berhubungan badan atas paksaan Hasyim di Amsterdam.
“Bahwa Pengadu datang ke Jakarta pada tanggal 9 Desember 2023 difasilitasi oleh Teradu berupa tiket pesawat dan menyiapkan satu unit apartemen dengan nomor 705 di Oakwood Suites Kuningan atas nama Wildan Sukhoyya untuk digunakan Pengadu sejak tanggal 8 Desember 2023 s.d. 7 Januari 2024 sesuai bukti Pihak Terkait Ahmad Wildan Sukhoyya,” kata Ratna Dewi di ruang sidang DKPP, Jakarta Pusat, Rabu (3/7/2024), dikutip dari sejumlah media.
Tindakan nekat ini, kata Ratna, dilakukan korban yang curiga hanya diberikan janji surga. Atas prasangka itu, korban nekat ke Jakarta untuk menagih ucapan Hasyim.
“Akan tetapi, Pengadu tidak mendapatkan kepastian dari Teradu, sehingga Pengadu meminta Teradu untuk membuat surat penyataan tertulis di atas meterai yang pada pokoknya berisikan janji Teradu kepada Pengadu,” jelas Ratna.
Bertolak dari pernyataan Ratna tersebut, mestinya lebih tepat Hasyim disebut ingkar janji atau wanprestasi, bukan “melakukan pemaksaan hubungan badan” seperti dalam putusan. Manakah yang benar?
Atau sesungguhnya memang ada rasa suka sama suka, tapi setelah Hasyim ingkar janji lalu CAT menganggap hubungan badan itu sebagai pemaksaan?
Jika kasus ini masuk ke ranah pidana, tentu perlu pemeriksaan forensik untuk membuktkian apakah hubungan badan yang terjadi atas dasar suka sama suka atau karena ada paksaan dari Hasyim?
Pertanyaan lanjutan pun membuncah: adakah pihak di belakang CAT yang patut diduga sudah berniat sejak lama hendak menjatuhkan Hasyim? Ini politik, Bung!
Nasi sudah menjadi bubur. Hasyim sudah terlanjur dipecat, dan secara implisit ia mengakui perbuatannya dengan mengaku bersyukur dan berterima kasih karena DKPP telah membebaskan dia dari tugas berat menyelenggarakan Pilkada 2024 pada 27 November mendatang. Hasyim tak melakukan perlawanan.
Yang sekarang bisa Hasyim lakukan adalah bagaimana mencari kebenaran berdasarkan fakta-fakta yang ada kemudian mengungkapkannya kepada publik karena putusan DKPP final dan mengikat.
Hemat penulis, akan lebih tepat jika Hasyim Asy’ari dinyatakan melanggar kode etik karena wanprestasi atau ingkar janji, bukan karena “melakukan pemaksaan hubungan badan”.
Akan tetapi, apa pun itu, satu hal sudah terbukti: perempuan itu indah sebagai fiksi, tapi berbahaya sebagai fakta: dan semakin cantik seorang perempuan, semakin berbahaya dirinya.