Fusilatnews – Sebuah tayangan di Trans7, Xpose Uncensored, menampilkan sisi lain dunia pesantren dengan cara yang dianggap menyinggung. Dalam program itu, kehidupan kiai dan relasi mereka dengan santri disorot dengan nada curiga: seolah pesantren hanyalah ruang feodal tempat kiai dipuja dan santri tunduk tanpa nalar.
Protes keras pun datang dari PBNU. Ketua Umum-nya, KH Yahya Cholil Staquf, menyebut tayangan itu melecehkan pesantren dan para tokohnya. Trans7 buru-buru meminta maaf, mengaku lalai dalam menjaga sensitivitas dan konteks. Tapi di balik kegaduhan itu, ada satu hal yang justru lebih penting dari sekadar siapa yang benar atau salah: apakah dunia pesantren masih sanggup menjawab tantangan zaman?
Cermin yang Retak
Reaksi keras dari warga Nahdliyin dapat dimengerti. Pesantren selama ini bukan sekadar lembaga pendidikan, tetapi simbol tradisi dan kehormatan. Menyentuhnya tanpa pemahaman budaya yang memadai bisa seperti melempar batu ke kaca jendela keimanan. Tapi di sisi lain, tayangan itu—betapapun keliru narasinya—memantulkan sesuatu yang lebih dalam: kebutuhan akan refleksi.
Sebagian pola pendidikan di pesantren memang tampak berjalan di tempat. Disiplin masih dimaknai sebagai ketundukan mutlak, bukan pembiasaan berpikir. Penghormatan pada kiai kadang berubah menjadi kepatuhan tanpa ruang dialog. Pembelajaran kitab kuning berjalan tanpa jembatan menuju realitas dunia modern.
Sementara di luar sana, dunia berlari. Kecerdasan buatan menggantikan banyak profesi, teknologi informasi mengubah cara belajar dan bekerja. Anak-anak muda hidup dalam ekosistem digital, di mana keterampilan berpikir kritis dan kreatif lebih dihargai daripada hafalan semata.
Di tengah pusaran itu, sebagian pesantren masih mengulang pola lama. Maka pertanyaannya bukan lagi apakah Trans7 salah menggambarkan pesantren, tetapi apakah pesantren sudah cukup jujur melihat dirinya sendiri?
Dari Tradisi ke Transformasi
Tak ada yang salah dengan tradisi, sejauh ia memberi arah. Tapi ketika tradisi menjadi pagar yang membatasi pandangan, ia kehilangan makna asalnya.
Pesantren perlu bergerak dari sekadar menjaga warisan menjadi ruang pembaruan. Santri tak cukup hanya fasih membaca kitab kuning, tapi juga perlu mampu membaca tanda-tanda zaman. Mereka harus dibekali kemampuan beradaptasi, berpikir kritis, dan berkolaborasi dalam dunia yang lintas disiplin dan lintas budaya.
Kiai, sebagai poros utama pesantren, harus memimpin transformasi ini. Ia tak hanya guru ruhani, tapi juga inovator pendidikan. Ia harus membuka pintu bagi ilmu pengetahuan modern tanpa merasa kehilangan nilai-nilai Islam yang mendasari pendidikannya.
Dalam konteks ini, introspeksi menjadi lebih penting daripada kemarahan. Sebab setiap kritik, betapa pun menyakitkan, bisa menjadi cermin untuk berbenah.
Jurnalisme dan Tanggung Jawab Moral
Tentu saja, media juga tidak bisa lepas dari tanggung jawab. Kritik yang lahir dari ruang redaksi seharusnya lahir dari riset, bukan prasangka. Dunia pesantren memiliki kompleksitas spiritual dan kultural yang tak bisa ditangkap hanya lewat kamera dan narasi singkat.
Tugas jurnalis adalah menyingkap fakta tanpa kehilangan empati, bukan menebar sensasi atas nama keberanian. Tapi kesalahan media tidak boleh menutupi kenyataan bahwa pendidikan di pesantren juga membutuhkan penyegaran visi.
Menatap ke Depan
Kemarahan PBNU dan umatnya sah, tapi jangan berhenti di situ. Karena yang lebih penting dari meminta maaf adalah mengambil pelajaran.
Pesantren harus menatap ke depan, menata ulang orientasi pendidikannya agar selaras dengan kebutuhan zaman. Santri yang lahir dari rahim pesantren masa depan seharusnya bukan hanya taat dan alim, tapi juga mampu bersaing di dunia global—tanpa kehilangan akar moralnya.
Di titik itulah pesantren akan kembali menemukan relevansinya: sebagai lembaga yang bukan sekadar mengajar, tapi membentuk manusia utuh—berilmu, berakal sehat, dan berakhlak kuat.
Karena jika pesantren berhenti belajar dari dunia, maka dunia akan berhenti belajar dari pesantren.























